Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh... ,Rohis SMKN 1 Purbalingga blog - Semoga bermanfaat!Aamiin...|Rohis-Smega| Alhamdulillah,Luar Biasa,Allahu'akbar,Yes ! :D -

SELAMAT DATANG DI ROHIS OF SMEGA

Semoga ada yang dapat dipetik dari bacaan dari blog yang sederhana ini.Amin...


Takbir? Allahu'akbar

Belajar Membaca dan Mempelajari Al Qur'an,Yuk...!

Rasulullah SAW pernah bersabda, "Siapa yang membaca satu huruf dari Kitab Allah (Alquran ), ia akan mendapatkan satu kebaikan yang nilainya sama dengan 10 kali ganjaran (pahala).(HR Tirmidzi)


Oleh karena itu kamipun berusaha supaya Al Qur'an dapat dibaca dan dipelajari kapanpun dan dimanapun(selain waktu dan tempat yang dilarang)

The foundation of Islam

about Aqidah,Manhaj,Al-Qur'an,Hadits,Ahlaq,Tafsir

Ilmu Fiqih dan Muamalah

Tentang fiqih,Do'a dan Zikir,Ramadhan

Islam Inside

All about Islam (Artikel,Sejarah,Kisah,Penyejuk Hati,Nasehat,Motivasi,Software Islami,dll.)

Rohis Smega

Kegiatan serta rutinitas Rohani Islam SMK N 1 Purbalingga

Monday, December 26, 2011

Balasan Nan Indah

Abu Ibrahim bercerita,

Suatu ketika, aku jalan-jalan di padang pasir dan tersesat tidak bisa pulang. Di sana kutemukan sebuah kemah lawas. Kuperhatikan kemah tersebut, dan ternyata di dalamnya ada seorang tua yang duduk di atas tanah dengan sangat tenang.

Ternyata orang ini kedua tangannya buntung, matanya buta, dan sebatang kara tanpa sanak saudara. Kulihat bibirnya komat-kamit mengucapkan beberapa kalimat.

Aku mendekat untuk mendengar ucapannya, dan ternyata ia mengulang-ulang kalimat berikut:

الحَمْدُ لله الَّذِي فَضَّلَنِي عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيْلاً .. الحَمْدُ للهِ الَّذِي فَضَّلَنِي عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَق تَفْضِيْلاً ..

Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia… Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia…

Aku heran mendengar ucapannya, lalu kuperhatikan keadaannya lebih jauh. Ternyata sebagian besar panca inderanya tak berfungsi. Kedua tangannya buntung, matanya buta, dan ia tidak memiliki apa-apa bagi dirinya.

Kuperhatikan kondisinya sambil mencari adakah ia memiliki anak yang mengurusinya? Atau isteri yang menemaninya? Ternyata tak ada seorang pun.

Aku beranjak mendekatinya, dan ia merasakan kehadiranku. Ia lalu bertanya: “Siapa? siapa?”

“Assalaamu’alaikum… aku seorang yang tersesat dan mendapatkan kemah ini” jawabku, “Tapi kamu sendiri siapa?” tanyaku.

“Mengapa kau tinggal seorang diri di tempat ini? Di mana isterimu, anakmu, dan kerabatmu? lanjutku.

“Aku seorang yang sakit, semua orang meninggalkanku, dan kebanyakan keluargaku telah meninggal” jawabnya.

“Namun kudengar kau mengulang-ulang perkataan: “Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia!! Demi Allah, apa kelebihan yang diberikan-Nya kepadamu, sedangkan engkau buta, faqir, buntung kedua tangannya, dan sebatang kara?!?” ucapku.

“Aku akan menceritakannya kepadamu. Tapi aku punya satu permintaan kepadamu, maukah kamu mengabulkannya?” tanyanya.

“Jawab dulu pertanyaanku, baru aku akan mengabulkan permintaanmu” kataku.

“Engkau telah melihat sendiri betapa banyak cobaan Allah atasku, akan tetapi segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia. Bukankah Allah memberiku akal sehat, yang dengannya aku bisa memahami dan berfikir?”

“Betul” jawabku. lalu katanya: “Berapa banyak orang yang gila?”

“Banyak juga” jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia” jawabnya.

“Bukankah Allah memberiku pendengaran, yang dengannya aku bisa mendengar adzan, memahami ucapan, dan mengetahui apa yang terjadi di sekelilingku?” tanyanya.

“Iya benar”, jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut” jawabnya.

“Betapa banyak orang yang tuli tak mendengar?” katanya.

“Banyak juga” jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut”, katanya.

“Bukankah Allah memberiku lisan yang dengannya aku bisa berdzikir dan menjelaskan keinginanku?” tanyanya.

“Iya benar” jawabku. “Lantas berapa banyak orang yang bisu tidak bisa bicara?” tanyanya.

“Wah, banyak itu” jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tsb” jawabnya.

“Bukankah Allah telah menjadikanku seorang muslim yang menyembah-Nya, mengharap pahala dari-Nya, dan bersabar atas musibahku?” tanyanya.

“Iya benar” jawabku. lalu katanya: “Padahal berapa banyak orang yang menyembah berhala, salib, dan sebagainya dan mereka juga sakit? Mereka merugi di dunia dan akhirat!!”

“Banyak sekali”, jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut” katanya.

Pak tua terus menyebut kenikmatan Allah atas dirinya satu-persatu. Dan aku semakin takjub dengan kekuatan imannya. Ia begitu mantap keyakinannya dan begitu rela terhadap pemberian Allah.

Betapa banyak pesakitan selain beliau, yang musibahnya tidak sampai seperempat dari musibah beliau. Mereka ada yang lumpuh, ada yang kehilangan penglihatan dan pendengaran, ada juga yang kehilangan organ tubuhnya. Tapi bila dibandingkan dengan orang ini, maka mereka tergolong ‘sehat’. Pun demikian, mereka meronta-ronta, mengeluh, dan menangis sejadi-jadinya. Mereka amat tidak sabar dan tipis keimanannya terhadap balasan Allah atas musibah yang menimpa mereka, padahal pahala tersebut demikian besar.

Aku pun menyelami pikiranku makin jauh, hingga akhirnya khayalanku terputus saat pak tua mengatakan:

“Hmmm, bolehkah kusebutkan permintaanku sekarang, maukah kamu mengabulkannya?”

“Iya. apa permintaanmu?” kataku.

Maka ia menundukkan kepalanya sejenak seraya menahan tangis. Ia berkata: “Tidak ada lagi yang tersisa dari keluargaku melainkan seorang bocah berumur 14 tahun. Dia lah yang memberiku makan dan minum, serta mewudhukan aku dan mengurusi segala keperluanku. Sejak tadi malam ia keluar mencari makanan untukku dan belum kembali hingga kini. Aku tak tahu apakah ia masih hidup dan diharapkan kepulangannya, ataukah telah tiada dan kulupakan saja. Dan kamu tahu sendiri keadaanku yang tua renta dan buta, yang tidak bisa mencarinya”.

Maka kutanya ciri-ciri anak tersebut dan ia menyebutkannya, maka aku berjanji akan mencarikan bocah tersebut untuknya. Aku pun meninggalkannya dan tak tahu bagaimana mencari bocah tersebut. Aku tak tahu harus memulai dari arah mana.

Namun tatkala aku berjalan dan bertanya-tanya kepada orang sekitar tentang si bocah, nampaklah olehku dari kejauhan sebuah bukit kecil yang tak jauh letaknya dari kemah si pak tua. Di atas bukit tersebut ada sekawanan burung gagak yang mengerumuni sesuatu. Maka segeralah terbetik di benakku bahwa burung tersebut tidak lah berkerumun kecuali pada bangkai, atau sisa makanan.

Aku pun mendaki bukit tersebut dan mendatangi kawanan gagak tadi hingga mereka berhamburan terbang. Tatkala kudatangi lokasi tersebut, ternyata si bocah telah tewas dengan badan terpotong-potong. Rupanya seekor serigala telah menerkamnya dan memakan sebagian dari tubuhnya, lalu meninggalkan sisanya untuk burung-burung.

Aku lebih sedih memikirkan nasib pak tua dari pada nasib si bocah. Aku pun turun dari bukit, dan melangkahkan kakiku dengan berat menahan kesedihan yang mendalam. Haruskah kutinggalkan pak Tua menghadapi nasibnya sendirian. Ataukah kudatangi dia dan kukabarkan nasib anaknya kepadanya?

Aku berjalan menujuk kemah pak Tua. Aku bingung harus mengatakan apa dan mulai dari mana? Lalu terlintaslah di benakku akan kisah Nabi Ayyub ‘alaihissalaam. Maka kutemui pak Tua itu dan ia masih dalam kondisi yang memprihatinkan seperti saat kutinggalkan. Kuucapkan salam kepadanya, dan pak Tua yang malang ini demikian rindu ingin melihat anaknya, ia mendahuluiku dengan bertanya: “Di mana si bocah?”

Namun kataku: “Jawablah terlebih dahulu… siapakah yang lebih dicintai Allah: engkau atau Ayyub ‘alaihissalaam?”.

“Tentu Ayyub ‘alaihissalaam lebih dicintai Allah” jawabnya.

“Lantas siapakah di antara kalian yang lebih berat ujiannya?” tanyaku kembali.

“Tentu Ayyub…” jawabnya.

“Kalau begitu, berharaplah pahala dari Allah karena aku mendapati anakmu telah tewas di lereng gunung. Ia diterkam oleh serigala dan dikoyak-koyak tubuhnya” jawabku.

Maka pak Tua pun tersedak-sedak seraya berkata: “Laa ilaaha illallaaah…” dan aku berusaha meringankan musibahnya dan menyabarkannya. Namun sedakannya semakin keras hingga aku mulai menalqinkan kalimat syahadat kepadanya, hingga akhirnya ia meninggal dunia. Ia wafat di hadapanku, lalu kututupi jasadnya dengan selimut yang ada di bawahnya. Lalu aku keluar untuk mencari orang yang membantuku mengurus jenazahnya.

Maka kudapati ada tiga orang yang mengendarai unta mereka… nampaknya mereka adalah para musafir, maka kupanggil mereka dan mereka datang menghampiriku. Kukatakan: “Maukah kalian menerima pahala yang Allah giring kepada kalian? Di sini ada seorang muslim yang wafat dan dia tidak punya siapa-siapa yang mengurusinya. Maukah kalian menolongku memandikan, mengafani dan menguburkannya?”

“Iya..” jawab mereka.

Mereka pun masuk ke dalam kemah menghampiri mayat pak Tua untuk memindahkannya. Namun ketika mereka menyingkap wajahnya, mereka saling berteriak: “Abu Qilabah… Abu Qilabah…!!”. Ternyata Abu Qilabah adalah salah seorang ulama mereka, akan tetapi waktu silih berganti dan ia dirundung berbagai musibah hingga menyendiri dari masyarakat dalam sebuah kemah lusuh. Kami pun menunaikan kewajiban kami atasnya dan menguburkannya, kemudian aku kembali bersama mereka ke Madinah.

Malamnya aku bermimpi melihat Abu Qilabah dengan penampilan indah. Ia mengenakan gamis putih dengan badan yang sempurna. Ia berjalan-jalan di tanah yang hijau. Maka aku bertanya kepadanya:

“Hai Abu Qilabah… apa yang menjadikanmu seperti yang kulihat ini?”

Maka jawabnya: “Allah telah memasukkanku ke dalam Jannah, dan dikatakan kepadaku di dalamnya:

( سلام عليكم بما صبرتم فنعم عقبى الدار )

Salam sejahtera atasmu sebagai balasan atas kesabaranmu… maka (inilah Surga) sebaik-baik tempat kembali

[Kisah ini diriwayatkan oleh Al Imam Ibnu Hibban dalam kitabnya: “Ats Tsiqaat” dengan penyesuaian]


Sumber :
Diterjemahkan oleh Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary dari kitab: ‘Aasyiqun fi Ghurfatil ‘amaliyyaat, oleh Syaikh Muh. Al Arify.

Artikel www.muslim.or.id

Saturday, December 24, 2011

Apa yang Kau Inginkan dari Hidupmu wahai saudaraku?

Hidup di dunia ini adalah kehidupan yang mesti berakhir. Tak bias tidak, manusia pasti menemui ajalnya. Hakikat hidup kita di dunia ini hanyalah seumur jagung yang kemudian mati menguning.

“Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”(Q.S. Al-Hadid:20)

Karena sempitnya waktu kita di muka bumi ini, sepatutnya kita mengetahui apa sebenarnya target kita di dunia agar kita focus dalam mencapainya.

Tujuan Utama : Bahagia

Tentunya setiap dari kita pasti ingin hidupnya bahagia, dan inilah tujuan kita sesungguhnya. Sejatinya, apapun yang kita lakukan di dunia ini, baik dengan cara yang dihalalkan ataupun dilarang syariat semuanya bermuara pada tujuan yang satu : mencapai kebahagiaan.

Hanya saja, cara untuk mencapai kebahagiaan ini berbeda pada masing-masing individu. Sebagian besar lebih menitikberatkan pada pemenuhan sarana materi. Sebagian lain berusaha mencari kebahagiaan semu dengan obat-obatan terlarang. Dan hanya sedikit yang mendapatkan hidayah untuk mencapai kebahagiaan yang sempurna dan hakiki: kebahagiaan di atas koridor syariat, kebahagiaan dunia dan akhirat.

Bahagia Bukan Hanya Dengan Materi

Saudaraku, hidup bahagia tidak mesti dengan tercukupinya materi. Hidup bahagia tidak melulu berarti kebebasan finansial. Memang, materi merupakan salah satu unsur dari kebahagiaan, namun bukan seluruhnya. Materi hanyalah sebuah perantara untuk mencapai kebahagiaan. Dari sini, kitapun menyadari betapa banyak orang yang belum berbahagia meski hartanya melimpah, rumahnya megah, dan mobilnya mewah.

Justru, materi yang sebenarnya merupakan perantara kebahagiaan bisa menjadi sebab terhalangnya kebahagiaan jika kita tidak pandai-pandai mengaturnya. Betapa banyak orang yang justru menjadi pemburu harta dengan mengabaikan kebahagiaannya. Betapa banyak orang yang justru tidak bisa tidur nyenyak lantaran banyaknya harta yang ada di tangannya. Lagipula, seorang yang telah memiliki harta tidak akan puas berhenti pada satu tingkatan kekayaan. Ia akan mencari dan terus harta kekayaan meski telah melimpah ruah. Tidaklah kita menyimak sebuah ucapan dari Rasul yang mulia :

“Andai anak adam memiliki dua lembah harta, niscaya dia akan mencari yang ketiganya. Tidak ada yang bisa memenuhi perutnya kecuali tanah (yakni dikubur dalam tanah)”[H.R. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas]. Dan demikianlah, setiap seseorang memiliki harta, pasti dia mengiginkan yang lebih darinya. Hanya kematianlah yang bisa menghentikan ambisi untuk menambah hartanya.

Maka dari itu, Rasulullah mendefinisikan kekayaan sebenarnya dalam sebuah hadits yang artinya “Bukanlah kekayaan sejati itu disebabkan karena banyak hartanya, tapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan jiwa”[H.R. Al-Bukhari dan Muslim].

Kekayaan jiwa yang dimaksud oleh Rasulullah adalah rasa cukup terhadap pemberian Allah, tidak meminta-minta, dan meyakini bahwa kadar yang Allah tetapkan adalah jumlah yang terbaik baginya. Inilah makna qana’ah.

Nah, dengan penjelasan ini, teranglah bagi kita kenapa Rasulullah bersabda dalam sebuah hadits yang artinya “Sungguh telah beruntung orang yang masuk Islam dan diberi rezeki yang cukup, lalu Allah memberinya rasa qana’ah”.[H.R. Muslim dari sahabat Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash]

Rezeki Sudah Ditentukan

Saudaraku, seberapa pun kita sibuk dan bersungguh-sungguh dalam mencari rezeki, sesungguhnya Allah telah menentukan kadarnya. Allah telah menuliskannya di dalam Lauhul Mahfuzh semenjak lima puluh ribu tahun sebelum diciptakannya bumi dan langit. Rasulullah pernah bersabda yang artinya “Allah telah menuliskan takdir-takdir makhluk lima puluh ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit-langit dan bumi”[H.R. Muslim dari sahabat Ibnu Umar]i.

Tugas kita hanyalah menjemput rezeki tersebut dengan melakukan usaha yang halal. Jika Allah menakdirkan rezeki kita sedikit, hal itu tidak akan berubah meskipun kita bekerja keras memeras keringat membanting tulang. Sebaliknya, jika Allah menakdirkan rezeki kita adalah rezeki yang berlimpah, tidak akan berubah menjadi sedikit meskipun kita berusaha seadanya. Hanya saja, berusaha dengan cara yang halal adalah keharusan. Menempuh sebab datangnya rezeki kemudian menyandarkan hasilnya kepada Allah adalah tawakal yang wajib dilaksanakan.

Maka dari itu, Rasulullah mewasiatkan kepada kita untuk mencari rezeki dengan cara yang baik dalam sabda beliau yang artinya, “Sesungguhnya Ruhul Qudus (Malaikat Jibril) mengilhamkan kepada qalbuku bahwasannya tidak ada satu jiwa pun yang meninggal dunia hingga dia telah lengkap menerima seluruh rezekinya, maka bertakwalah kepada Allah dan carilah rezeki dengan cara yang baik. Janganlah karena merasa rezekinya lambat lalu membuatnya mencari dengan bermaksiat kepada Allah. Sebab, yang ada di sisi Allah tidak dapat dicapai kecuali dengan ketaatan kepada-Nya”.[H.R. Abu Nu’aim dari sahabat Abu Umamah disahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Jami’]

Kebahagiaan Hakiki Nan Abadi

Apa yang kita bahas diatas adalah kebahagiaan di dunia yang fana dan sebentar. Sejatinya, ada kebahagiaan abadi yang wajib untuk kita cari. Ya, kebahagiaan itu adalah kebahagiaan ukhrawi, kebahagiaan kita di akhirat kelak.

Tentu masing-masing dari kita telah mengetahui adanya kebahagiaan ini. Namun sayang, terkadang pengetahuan ini sebatas wawasan dan belum menjadi keimanan yang mantap.

Sehingga, pengetahuan ini jarang menjadi sebuah landasan yang memacu kita untuk beramal dan mencarinya.

Kebahagiaan itu tidak akan terputus oleh maut ataupun sakit. Kebahagiaan yang belum pernah terbesit di dalam benak, belum pernah terdengar oleh telinga, dan belum pernah terlihat oleh mata. Itulah tujuan sejati kita yang seharusnya menjadi prioritas kita. Allahu’alam bish shawab.

Sumber : Majalah Tashfiyah Edisi 05

Thursday, December 22, 2011

Hak-hak seorang wanita


Sesungguhnya Islam menempatkan wanita pada posisi yang tinggi dan sejajar de-ngan pria. Namun dalam beberapa hal ada yang harus berbeda, karena pria dan wanita hakikatnya adalah makhluk yang berbeda. Kesalahan dalam memahami ajaran yang benar inilah yang menjadikan Islam kerap dituding sebagai agama yang menempatkan wanita sebagai “warga kelas dua.” Benarkah? Simak kupasannya!
Suatu hal yang tidak kita sangsikan bahwa Islam demikian memuliakan wanita, dari semula makhluk yang tiada berharga di hadapan “peradaban manusia”, diinjak-injak kehormatan dan harga dirinya, kemudian diangkat oleh Islam ditempatkan pada tempat yang semestinya dijaga, dihargai, dan dimuliakan. Segala puji bagi Allah l yang telah memberikan banyak kebaikan kepada hamba-hamba-Nya.
Keterangan ringkas yang akan dibawakan, sedikitnya akan memberikan gambaran bagaimana Islam menjaga hak-hak kaum wanita, sejak mereka dilahirkan ke muka bumi, dibesarkan di tengah keluarganya sampai dewasa beralih ke perwalian sang suami.

1. Pada Masa Kanak-kanak
Di masa jahiliah tersebar di kalangan bangsa Arab khususnya, kebiasaan menguburkan anak perempuan hidup-hidup karena keengganan mereka memelihara anak perempuan. Lalu datanglah Islam mengharamkan perbuatan tersebut dan menuntun manusia untuk berbuat baik kepada anak perempuan serta menjaganya dengan baik. Ganjaran yang besar pun dijanjikan bagi yang mau melaksanakannya. Rasulullah n memberikan anjuran dalam sabda-Nya:
مَنْ عَالَ جَارِيَتَيْنِ حَتَّى تَبْلُغَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ (وَضَمَّ أَصَابِعَهُ)
“Siapa yang memelihara dua anak perempuan hingga keduanya mencapai usia baligh maka orang tersebut akan datang pada hari kiamat dalam keadaan aku dan dia1 seperti dua jari ini.” Beliau menggabungkan jari-jemarinya. (HR. Muslim no. 6638 dari Anas bin Malik z)
‘Aisyah x berkisah: “Datang ke rumahku seorang wanita peminta-minta beserta dua putrinya. Namun aku tidak memiliki apa-apa yang dapat kusedekahkan kepada mereka kecuali hanya sebutir kurma. Wanita tersebut menerima kurma pemberianku lalu dibaginya untuk kedua putrinya, sementara ia sendiri tidak memakannya. Kemudian wanita itu berdiri dan keluar dari rumahku. Tak berapa lama masuklah Rasulullah n, kuceritakan hal tersebut kepada beliau. Usai mendengar penuturanku beliau bersabda:
مَنِ ابْتُلِيَ مِنْ هَذِهِ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ
“Siapa yang diuji dengan sesuatu dari anak-anak perempuannya lalu ia berbuat baik kepada mereka maka mereka akan menjadi penghalang/penutup baginya dari api neraka.” (HR. ِAl-Bukhari no. 1418 dan Muslim no. 6636)
Kata Al-Imam An-Nawawi t dalam penjelasan atas hadits di atas: “Rasulullah n menyebutnya dengan ujian (ibtila`), karena manusia biasanya tidak menyukai anak perempuan (lebih memilih anak lelaki), sebagaimana Allah l berfirman tentang kebiasaan orang-orang jahiliah:
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِاْلأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيْمٌ. يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوْءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُوْنٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ ساَءَ مَا يَحْكُمُوْنَ
“Apabila salah seorang dari mereka diberi kabar gembira dengan kelahiran anak perempuan, menjadi merah padamlah wajahnya dalam keadaan ia menahan amarah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak karena buruknya berita yang disampaikan kepadanya. (Ia berpikir) apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya hidup-hidup di dalam tanah? Ketahuilah alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (An-Nahl: 58-59)
Hadits-hadits yang telah disebutkan di atas menunjukkan keutamaan berbuat baik kepada anak perempuan, memberikan nafkah kepada mereka dan bersabar memelihara mereka. (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 16/395)
Islam mewajibkan kepada seorang ayah untuk menjaga anak perempuannya, memberi nafkah kepadanya sampai ia menikah dan memberikan kepadanya bagian dari harta warisan.

2. Dalam masalah pernikahan
Wanita diberi hak untuk menentukan pendamping hidupnya dan diperkenankan menolak calon suami yang diajukan orang tua atau kerabatnya bila tidak menyukainya. Beberapa hadits di bawah ini menjadi bukti:
Rasulullah n bersabda:
لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ تَسْكُتَ
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah (dimintai pendapatnya), dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan hingga diminta izinnya.” Para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimanakah izinnya seorang gadis?” “Izinnya adalah dengan ia diam”, jawab Rasulullah. (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458 dari Abu Hurairah z)
‘Aisyah x berkata:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ الْبِكْرَ تَسْتَحِي. قاَلَ: رِضَاهَا صَمْتُهَا
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya seorang gadis itu malu (untuk menjawab bila dimintai izinnya dalam masalah pernikahan).” Beliau menjelaskan, “Tanda ridhanya gadis itu (untuk dinikahkan) adalah diamnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5137)
Khansa` bintu Khidam Al-Anshariyyah x mengabarkan, ayahnya menikahkannya dengan seorang lelaki ketika ia menjanda. Namun ia menolak pernikahan tersebut. Ia adukan perkaranya kepada Nabi n, hingga akhirnya beliau membatalkan pernikahannya. (HR. Al-Bukhari no. 5138)
Hadits di atas diberi judul oleh Al-Imam Al-Bukhari t dalam kitab Shahih-nya: Bab Apabila seseorang menikahkan putrinya sementara putrinya tidak suka maka pernikahan itu tertolak.
Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr Ash-Shiddiq menceritakan, salah seorang putri Ja’far2 merasa khawatir walinya akan menikahkannya secara paksa. Maka ia mengutus orang untuk mengadukan hal tersebut kepada dua syaikh dari kalangan Anshar, ‘Abdurrahman dan Majma’, keduanya adalah putra Yazid bin Jariyah. Keduanya berkata, “Janganlah kalian khawatir, karena ketika Khansa` bintu Khidam dinikahkan ayahnya dalam keadaan ia tidak suka, Nabi n menolak pernikahan tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 6969)
Buraidah ibnul Hushaib z mengabarkan:
جَاءَتْ فَتَـاةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقاَلَتْ: إِنَّ أَبِي زَوَّجَنِي ابْنَ أَخِيْهِ لِيَرْفَعَ بِي خَسِيْسَتَهُ. قَالَ: فَجَعَلَ اْلأَمْرَ إِلَيْهَا، فَقَالَتْ: قَدْ أَجَزْتُ مَا صَنَعَ أَبِي، وَلَكِنْ أَرَدْتُ أَنْ تَعْلَمَ النِّسَاءُ أَنْ لَيْسَ لِلْآبَاءِ مِنَ اْلأَمْرِ شَيْءٌ
“Pernah datang seorang wanita muda menemui Rasulullah n dalam rangka mengadu, ‘Ayahku menikahkanku dengan anak saudaranya untuk menghilangkan kehinaan yang ada padanya dengan pernikahanku tersebut’, ujarnya. Nabi n menyerahkan keputusan padanya (apakah meneruskan pernikahan tersebut atau membatalkannya). Si wanita berkata, ‘Aku membolehkan ayah untuk melakukannya. Hanya saja aku ingin para wanita tahu bahwa ayah mereka tidak memiliki urusan sedikitpun dalam memutuskan perkara seperti ini’.” (HR. Ibnu Majah no. 1874, kata Syaikh Muqbil bin Hadi t dalam Al-Jami’ush Shahih (3/64), “Hadits ini shahih menurut syarat Al-Imam Muslim.”)
Islam memberikan hak seperti ini kepada wanita karena Allah l menjadikan wanita sebagai penenang bagi suaminya dan Allah l menjadikan kehidupan suami istri ditegakkan di atas mawaddah wa rahmah. Maka bagaimana akan terwujud makna yang tinggi ini apabila seorang gadis diambil secara paksa sebagai istri sementara ia dalam keadaan tidak suka? Lalu bila demikian keadaannya, sampai kapan pernikahan itu akan bertahan dengan tenang dan tenteram?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t menyatakan: “Tidak boleh seorang pun menikahkan seorang wanita kecuali terlebih dahulu meminta izinnya sebagaimana hal ini diperintahkan oleh Nabi n. Apabila si wanita tidak suka, maka ia tidak boleh dipaksa untuk menikah. Dikecualikan dalam hal ini, bila si wanita masih kecil, karena boleh bagi ayahnya menikahkan gadis kecilnya tanpa meminta izinnya. Adapun wanita yang telah berstatus janda dan sudah baligh maka tidak boleh menikahkannya tanpa izinnya, sama saja baik yang menikahkannya itu ayahnya atau yang lainnya. Demikian menurut kesepakatan kaum muslimin.”
Ibnu Taimiyyah t melanjutkan: “Ulama berbeda pendapat tentang izin gadis yang akan dinikahkan, apakah izinnya itu wajib hukumnya atau mustahab (sunnah). Yang benar dalam hal ini adalah izin tersebut wajib. Dan wajib bagi wali si wanita untuk bertakwa kepada Allah l dalam memilih lelaki yang akan ia nikahkan dengan si wanita, dan hendaknya si wali melihat apakah calon suami si wanita tersebut sekufu atau tidak. Karena pernikahan itu untuk kemaslahatan si wanita, bukan untuk kemaslahatan pribadi si wali.” (Majmu’ Fatawa, 32/39-40)
Islam menetapkan kepada seorang lelaki yang ingin menikahi seorang wanita agar memberikan mahar pernikahan kepada si wanita. Dan mahar itu nantinya adalah hak si wanita, tidak boleh diambil sedikitpun kecuali dengan keridhaannya.
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
“Berikanlah mahar kepada para wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian dengan senang hati sebagian dari mahar tersebut, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa`: 4)
Al-Imam Al-Qurthubi l berkata, “Ayat ini menunjukkan wajibnya pemberian mahar kepada wanita yang dinikahi. Ulama menyepakati hal ini tanpa ada perbedaan pendapat, kecuali riwayat sebagian ahlul ilmi dari penduduk Irak yang menyatakan bila seorang tuan menikahkan budak laki-lakinya dengan budak wanitanya maka tidak wajib adanya mahar. Namun pendapat ini tidak dianggap.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 5/17)

3. Sebagai Seorang Ibu
Islam memuliakan wanita semasa kecilnya, ketika remajanya dan saat ia menjadi seorang ibu. Allah l mewajibkan seorang anak untuk berbakti kepada kedua orang tuanya, ayah dan ibu. Allah l titahkan hal ini dalam Tanzil-Nya setelah mewajibkan ibadah hanya kepada-Nya:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا. وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
“Rabbmu telah menetapkan agar janganlah kalian beribadah kecuali hanya kepada-Nya dan hendaklah kalian berbuat baik terhadap kedua orangtua. Apabila salah seorang dari keduanya atau kedua-duanya menginjak usia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan jangan membentak keduanya namun ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang, ucapkanlah doa, “Wahai Rabbku, kasihilah mereka berdua sebagaimana mereka telah memelihara dan mendidikku sewaktu kecil.” (Al-Isra`: 23-24)
Allah l juga berfirman:
وَوَصَّيْنَا اْلإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاَثُونَ شَهْرًا
“Dan Kami telah mewasiatkan manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah pula. Mengandung sampai menyapihnya adalah tigapuluh bulan…” (Al-Ahqaf: 15)
Ketika shahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ud z bertanya kepada Rasulullah n:
أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا. قَالَ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ…
“Amal apakah yang paling dicintai oleh Allah?” Rasulullah n menjawab, “Shalat pada waktunya.” “Kemudian apa setelah itu?” tanya ‘Abdullah lagi. Kata beliau, “Kemudian birrul walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua)….” (HR. Al-Bukhari no. 504 dan Muslim no. 248)
Kata Abu Hurairah z-seorang shahabat Rasul yang sangat berbakti kepada ibundanya-, “Ada seseorang bertanya kepada Rasulullah n:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أَبُوكَ
“Wahai Rasulullah, siapakah di antara manusia yang paling berhak untuk aku berbuat baik kepadanya?” Rasulullah menjawab, “Ibumu.” “Kemudian siapa?” tanyanya lagi. “Ibumu,” jawab beliau. Kembali orang itu bertanya, “Kemudian siapa?” “Ibumu.” “Kemudian siapa?” tanya orang itu lagi. “Kemudian ayahmu,” jawab Rasulullah. (HR. Al-Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 6447)
Hadits di atas menunjukkan pada kita bahwa hak ibu lebih tinggi daripada hak ayah dalam menerima perbuatan baik dari anaknya. Hal itu disebabkan seorang ibulah yang merasakan kepayahan mengandung, melahirkan, dan menyusui. Ibulah yang bersendiri merasakan dan menanggung ketiga perkara tersebut, kemudian nanti dalam hal mendidik baru seorang ayah ikut andil di dalamnya. Demikian dinyatakan Ibnu Baththal t sebagaimana dinukil oleh Al-Hafidz t. (Fathul Bari, 10/493)
Islam mengharamkan seorang anak berbuat durhaka kepada ibunya sebagaimana ditegaskan Rasulullah n dalam sabda beliau:
إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ اْلأُمَّهَاتِ…
“Sesungguhnya Allah mengharamkan kalian berbuat durhaka kepada para ibu…” (HR. Al-Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 593)
Al-Hafizh t menerangkan, “Dikhususkan penyebutan para ibu dalam hadits ini karena perbuatan durhaka kepada mereka lebih cepat terjadi daripada perbuatan durhaka kepada ayah disebabkan kelemahan mereka sebagai wanita. Dan juga untuk memberikan peringatan bahwa berbuat baik kepada seorang ibu dengan memberikan kelembutan, kasih sayang dan semisalnya lebih didahulukan daripada kepada ayah.” (Fathul Bari, 5/86)
Sampai pun seorang ibu yang masih musyrik ataupun kafir, tetap diwajibkan seorang anak berbuat baik kepadanya. Hal ini ditunjukkan dalam hadits Asma` bintu Abi Bakr c. Ia berkisah: “Ibuku yang masih musyrik datang mengunjungiku bertepatan saat terjalinnya perjanjian antara Quraisy dengan Rasulullah n. Aku pun bertanya kepada Rasulullah n: “Ibuku datang berkunjung dan memintaku untuk berbuat baik kepadanya. Apakah aku boleh menyambung hubungan dengannya?” Beliau menjawab, “Ya, sambunglah hubungan dengan ibumu.” (HR. Al-Bukhari no. 5979)

4. Sebagai Istri
Allah l memerintahkan seorang suami agar bergaul dengan istrinya dengan cara yang baik.
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang baik.” (An-Nisa`: 19)
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t berkata, “Ayat Allah l وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ meliputi pergaulan dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Karena itu, sepantasnya seorang suami mempergauli istrinya dengan cara yang ma’ruf, menemani, dan menyertai (hari-hari bersamanya) dengan baik, menahan gangguan terhadapnya (tidak menyakitinya), mencurahkan kebaikan dan memperbagus hubungan dengannya. Termasuk dalam hal ini pemberian nafkah, pakaian, dan semisalnya. Dan tentunya pemenuhannya berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan.” (Taisir Al-Karimirir Rahman, hal. 172)
Rasulullah n bersabda kepada para suami:
لاَ تَضْرِبُوا إِمَاءَ اللهِ
“Janganlah kalian memukul hamba-hamba perempuan Allah.”
‘Umar ibnul Khaththab z datang mengadu, “Wahai Rasulullah, para istri berbuat durhaka kepada suami-suami mereka.” Mendengar hal itu, Rasulullah n memberi keringanan untuk memukul istri bila berbuat durhaka. Selang beberapa waktu datanglah para wanita dalam jumlah yang banyak menemui istri-istri Rasulullah n untuk mengadukan perbuatan suami mereka. Mendengar pengaduan tersebut, Rasulullah n bersabda:
لَيْسَ أُولَئِكَ بِخِيَارِكُمْ
“Mereka itu bukanlah orang yang terbaik di antara kalian.” (HR. Abu Dawud no. 2145, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud)
Beliau juga pernah bersabda:
أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنَسَائِهِمْ
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. Ahmad 2/527, At-Tirmidzi no. 1172. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil t dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/336-337)
Banyak hak yang diberikan Islam kepada istri, seperti suami dituntut untuk bergaul dengan baik terhadap istrinya, ia berhak memperoleh nafkah, pengajaran, penjagaan dan perlindungan, yang ini semua tidak didapatkan oleh para istri di luar agama Islam.
Bila sudah demikian penjagaan Islam terhadap hak wanita dan pemuliaan Islam terhadap kaum wanita; lalu apa lagi yang ingin diteriakkan oleh kalangan feminis yang katanya memperjuangkan hak wanita, padahal sebenarnya ingin mencampakkan wanita kembali ke lembah kehinaan, terpuruk dan terinjak-injak?
Wallahul musta’an.

Catatan Kaki:

1 Maknanya: جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ

2 Kemungkinan terbesar Ja’far yang dimaksud adalah Ja’far bin Abi Thalib z, kata Al-Hafizh Ibnu Hajar v. (Fathul Bari, 12/426)


sumber : http://asysyariah.com/hak-hak-wanita-dalam-islam.html
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)

Masih Haruskah Berpacaran?


dakwatuna.com - Allah memberikan rizki sesuai dengan kebutuhan hambaNya dan di waktu yang menurut Allah terbaik untuk kita mendapatkannya. Jodoh adalah salah satu rizki yang Allah persiapkan untuk kita.
Allah akan memberikan jodoh pada kita di saat yang tepat. Bukan sesuai dengan keinginan kita. Seringnya kita menginginkan sesuatu hanya berdasarkan pada keinginan bukan pada kebutuhan. Allah Maha Tahu, kapan kita akan siap untuk menerima sebuah tanggung jawab besar untuk membentuk suatu peradaban kecil yang di mulai dari sebuah keluarga.
Karena menikah bukan hanya penyatuan dua insan berbeda dalam satu bahtera tanpa visi dan tujuan yang pasti, berlayar tanpa arah atau berlayar hanya menuju samudera duniawi. Menikah adalah penggenapan setengah agama karena menikah adalah sarana ibadah kepada Allah. Dalam tiap perbuatan di dalam rumah tangga dengan berdasarkan keikhlasan dan ketaqwaan maka ganjarannya adalah pahala. Tapi jika menikah hanya berdasarkan nafsu atau bahkan mengikuti perputaran kehidupan dunia, maka hasilnya pun akan sesuai dengan yang di niatkan.
Karena menikah adalah ibadah. Menikah adalah sunnah di anjurkan Rasulullah. Menimbun pahala yang terserak di dalam rumah tangga. Dan semua manusia yang normal pasti akan mendambakan suatu pernikahan. Merasakan suatu episode hidup dimana kita akan memulai segala sesuatu yang baru. Yang dahulu kita berperan sebagai seorang anak dengan berbagai kebahagiaan bermandikan kasih sayang orang tua. Maka menikah adalah suatu gerbang menuju pembelajaran menjadi orang tua kelak. Kita bukan lagi sebagai penumpang di mana mengikuti arah kehidupan yang di tentukan orang tua, melainkan kita akan menjadi driver untuk kehidupan kita sendiri kelak. Kita bisa saja mengikuti jalur yang telah di lewati orang tua, jika memang itu jalur yang tepat. Tapi jika jalur itu tak sesuai dengan arah tujuan kehidupan rumah tangga kita yaitu jalur keridhaan Allah, maka kita pun harus mencari jalur yang tepat.
Karena menikah itu adalah satu kebaikan maka seharusnya harus di mulai dengan yang baik pula. Misalnya, ketika kita ingin lulus ujian, maka kita harus belajar yang giat bukan bermalas-malasan.
Ayat Allah masih jelas tertera dalam kitabNya, bahwa pria yang baik akan mendapatkan wanita yang baik pula dan sebaliknya. Dan ayat itu masih sama dengan pada saat Allah turunkan beribu tahun yang lalu. Janji Allah pun tergambar melalui ayat itu dan Allah Maha Menepati janji. Lalu mengapa kita masih meragukan janji Allah itu??
Masih haruskah berpacaran??
Mengenal lawan jenis dengan dalih untuk mengenal pribadi masing-masing. Padahal kenyataannya, hanya sedikit kejujuran yang di tampakkan pada saat pacaran. Rasa takut yang besar untuk di tinggal pasangannya atau hendak mengambil hati pasangannya membuat mereka menyembunyikan keburukan yang terdapat dalam dirinya. Sudah menjadi rahasia umum, jika usia pacaran yang lama tak menjamin bahwa itu menjadi suatu jalan untuk memuluskan hubungan menuju jenjang pernikahan. Sudah tak menjamin adanya pernikahan setelah sekian lama menjalin masa pacaran, juga banyak di bumbui pelanggaran terhadap rambu-rambu Allah. Maksiat yang terasa nikmat.
Zaman sekarang, berpacaran sudah selayaknya menjadi pasangan suami istri. Si pria seolah menjadi hak milik wanita dan si wanita kepunyaan pribadi si pria. Mereka pun bebas melakukan apapun sesuai keinginan mereka. Yang terparah adalah sudah hilangnya rasa malu ketika melakukan hubungan suami istri dengan sang pacar yang notabene bukan mahram. Padahal pengesahan hubungan berpacaran hanya berupa ucapan yang biasa di sebut “nembak”, misalnya “I Love You, maukah kau menjadi pacarku?” dan di terima dengan ucapan “I Love You too, aku mau jadi pacarmu”. Atau sejenisnya. Hanya itu. Tanpa adanya perjanjian yang kuat (mitsaqan ghaliza) antara seorang hamba dengan Sang Pencipta. Tanpa adanya akad yang menghalalkan hubungan tersebut. Hubungan pacaran tak ada pertanggungjawaban kecuali pelanggaran terhadap aturan Allah. Karena tak ada yang namanya pacaran islami, pacaran sehat atau apalah namanya untuk melegalkan hubungan tersebut.
Kita berlelah melakukan hubungan pacaran. Melakukan apapun guna menyenangkan hati sang kekasih (yang belum halal) meskipun hati kita menolak. Jungkir balik kita mempermainkan hati. Hingga suka dan sedih karena cinta, cinta terlarang. Hati dan otak di penuhi hanya dengan masalah cinta. Kita menangis karena cinta, kita tertawa karena cinta, kita meraung-meraung di tinggal cinta, kita pun mengemis cinta. Hingga tak ada tempat untuk otak memikirkan hal positif lainnya. Tapi sayang, itu hanya cinta semu. Sesuatu yang semu adalah kesia-siaan. Kita berkorban mengatasnamakan cinta semu. Seorang pacar, hebatnya bisa menggantikan prioritas seorang anak untuk menghormati orangtua. Tak sedikit yang lebih senang berdua-duaan dengan sang pacar di banding menemani orangtua. Pacar bisa jadi lebih tau sedang dimana seorang anak di banding orang tuanya sendiri. Seseorang akan rela menyenangkan hati pacarnya untuk di belikan sesuatu yang di suka di bandingkan memberikan kejutan untuk seorang ibu yang melahirkannya. Seseorang akan lebih menurut pada perintah sang pacar di banding orang tuanya. Hubungan yang baru terjalin bisa menggantikan hubungan lahiriah dan batiniyah seorang anak dengan orangtua.
Jika pun akhirnya menikah, maka tak ada lagi sesuatu yang spesial untuk di persembahkan pada pasangannya. Sebuah rasa yang seharusnya di peruntukan untuk pasangannya karena telah di umbar sebelumnya, maka akan menjadi hal yang biasa. Tak ada lagi rasa “greget”, karena masing-masing telah mendapatkan apa yang di inginkan pada masa berpacaran. Bisa jadi, akibat mendapatkan sesuatu belum pada waktunya maka ikrar suci pernikahan bukan menjadi sesuatu yang sakral dan mudah di permainkan. Na’udzubillah.
Parahnya jika tiba-tiba hubungan pacaran itu kandas, hanya dengan sebuah kata “PUTUS” maka kebanyakan akan menjadi sebuah permusuhan. Apalagi jika di sebabkan hal yang kurang baik misalnya perselingkuhan. Kembali hati yang menanggung akibatnya. Kesedihan yang berlebihan hingga beberapa lama. Hati yang terlanjur memendam benci. Tak sedikit yang teramat merasakan patah hati dikarenakan cinta berlebihan menyebabkannya sakit secara fisik dan psikis. Juga ada beberapa kasus bunuh diri karena tak kuat menahan kesedihan akibat patah hati.
Terdengar berlebihan. Tapi itulah kenyataannya, hati adalah suatu organ yang sensitif. Bisa naik secara drastis, tak jarang bisa jatuh langsung menghantam ke bumi. Apa yang di rasakan hati akan terlihat pada sikap dan perilaku. Hati yang terpenuhi nafsu akan enggan menerima hal baik. Ada orang bilang, jangan pernah bermain dengan hati. Karena dari mata turun ke hati, kemudian tak akan turun kembali. Akan ada sebuah rasa akan mengendap di dalam hati. Jika rasa itu baik dan di tujukan pada seseorang yang halal (suami atau istri) maka kebaikan akan terpancar secara lahiriah. Bukan sebuah melankolisme yang kini merajalela.
Banyak pelajaran dari sekitar. Kenapa masih harus berpacaran??
Karena ingin ada teman yang selalu setia mendengar tiap keluh kesah?? Tak selamanya manusia bisa dengan rela mendengarkan keluhan manusia lainnya. Hanya Allah yang tak pernah berpaling untuk hambaNya. Bisa jadi secara fisik sang pacar rela mendengar dengan seksama, tapi dia juga manusia yang akan merasa bosan jika selalu di cecoki dengan berbagai keluhan.
Malu di bilang jomblo??
Jika dengan jomblo kita bisa terbebas dari rasa yang terlarang, kenapa harus malu?? justru kita akan merasa nyaman bercengkerama dengan Allah karena sadar hati kita hanya patut di tujukan kepadaNya bukan yang lain. Justru kita harus bangga, di saat yang lain berlomba untuk melakukan hal terlarang tapi kita menjauhinya. Kemudian tak akan ada perasaan was was karena telah melanggar aturan Allah. Kita bebas berkumpul dengan kawan-kawan tanpa ada kekangan dari orang yang sesungguhnya tak memiliki kewenangan terhadap diri kita.
Mungkin masih banyak lagi kesia-siaan dalam berpacaran. Dan sesungguhnya belum tentu sang pacar akan menjadi pasangan kita kelak.
Pacaran ibarat minuman beralkohol, banyak yang mengelak bahwa dengan berpacaran mereka memiliki semangat baru dan sederet hal positif yang mereka kumandangkan. Tapi sama halnya dengan alkohol, maka manfaat yang di dapat jauh lebih kecil di banding kemudharatan yang di hasilkan. Karena segala sesuatu yang di larang Allah, pasti ada sebab dan manfaatnya.
Kemudian ada yang berdalih, toh pacaran itu tidak merugikan orang lain. Tidak merugikan orang lain, namun hukum Allah jauh lebih baik untuk di ikuti ketimbang menurutkan hawa nafsu yang berakhir pada jurang kebinasaan.
Kembali ke pernikahan, suatu kebaikan maka tak pantas jika di awali dengan keburukan. Allah tak akan ingkar janji, karena jodoh telah Allah tetapkan di Lauh Mahfuzh. Tinggal kita melakukan usaha yang baik, yang Allah ridhai. Supaya tiap langkah kita, hanya berisi keridhaan Allah dan mendapat keberkahanNya. Aamiin.
(hanya sebuah catatan hati guna pengingat diri dan saudara seimanku)
Allahua’lam


Oleh: kiptiah hasan
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2011/12/17118/masih-haruskah-berpacaran/#ixzz1hDfFgNOg

Antara Rasa Cinta dan Kegalauan


Penulis idrus_syah
dari  forum : MyQuran.org

dakwatuna.com – Sahabat semua, kali ini kita akan membicarakan tentang cinta. Jika berbicara tentang cinta, dibahas 2 hari dua malam pun tak ada habisnya, karena kedalaman cinta itu lebih dalam dari samudra yang luas dan tingginya nilai cinta lebih tinggi dari angkasa yang membumbung. Pernah saya dengar ketika sekolah dasar bahwa cinta adalah sebuah kependekan dari C (cerita) I (indah) N (namun) T (tiada) A (arti) hehe :D

Nah, berbicara tentang cinta ternyata cinta itu bermacam-macam dan banyak versinya mulai dari cinta orang tua pada anaknya sampai cinta manusia dengan hewan peliharaannya, dan sekarang kita akan membahas tentang cinta kita kepada lawan jenis atau intinya saya akan membahas fenomena kebanyakan remaja sekarang yaitu PACARAN.

Berbicara tentang pacaran, maka yang terbayang adalah sebuah kesenangan antara sepasang manusia yang menjalin hubungan kasih, padahal kalau di analisa secara detail ternyata pacaran justru membuat hidup kita tidak bahagia, membuat galau bahkan bisa membaut masa depan kita hancur, gak percaya?? Begini ceritanya, xixixi.

Banyak remaja pacaran dengan alasan agar aktivitas belajar dan sekolah mereka jadi bersemangat. Memang benar dengan berpacaran remaja akan menjadi senang jika ke sekolah, karena ketemu dengan pacarnya. Namun ada sebuah kisah menarik yang dialami oleh abang penulis sendiri. Pada saat abang saya duduk di kelas 12 SMA, dan memiliki wajah yang ganteng itu, berpacaran dengan seorang cewek paling cantik di sekolahnya, anggota PASKIBRAKA nasional dan anak Dokter, pokoknya nyaris perfect lah. saat ketahuan oleh ibu saya pacaran, abang saya beralasan bahwa dia berpacaran biar semangat pergi ke sekolah, dan benar abang saya semangat pergi ke sekolah, tapi bukan semangat buat belajar melainkan semangat untuk berpacaran. Dan tentunya abang saya beranggapan wanita tersebut akan setia dengannya, namun yang terjadi di luar dugaan, tujuh hari sebelum Ujian akhir, abang saya diputusin oleh pacarnya yang sangat dicintainya itu, kemudian yang terjadi abang saya menjadi galaunya bukan main, karena patah hati. Dan galau karena patah hati tidak bisa sembuh seminggu atau dua minggu bahkan bisa berbulan-bulan. Dan akhirnya gara-gara galau akibat patah hati, abang saya tidak focus ujian dan akhirnya nilainya jeblok dan SNMPTN tidak lulus sehingga dapat dikatakan pada waktu itu masa depannya terancam suram.

Itulah sebuah kisah tragis tentang cinta, dimana bila kita belum punya timing yang tepat dalam menjalin kasih yang terjadi ialah sebuah kegalauan yang menghancur luluh lantakkan hati, pikiran bahkan masa depan kita. Oleh karena itu maka yang masih menjalani kehidupan sebagai remaja atau profesi lainnya, sadarilah bahwa berpacaran itu banyak ruginya dan bila kamu seorang cowok, maka ketika berpacaran biasanya cowok paling dirugikan secara financial, bahkan mungkin ada cowok yang dia rela tidak memakai uang jajannya tiap hari dan menabungnya agar bisa weekend nan dengar pacarnya di akhir pekan, bahkan ketika pacarnya akan berulang tahun sang cowok rela menabung sampai terkumpul ratusan ribu rupiah untuk dibelikan kado pacarnya.

Namun sebuah ironinya ialah kenapa sang cowok tidak melakukan hal yang sama untuk ibunya, pernahkah kita menabung uang yang cukup banyak dengan niatan membahagiakan ibu kita?? Sebagian kita sering memberikan coklat kepada calon pasangan kita saat hari Valentine namun pernahkah kita dari dulu sampai sekarang saat hari ibu memberikan uang, kado atau coklat?? Padahal harusnya ibu kita lebih wajib kita bahagiakan daripada pacar kita, karena ibu kita sudah mengurusi kita dari kecil sampai sekarang dan pacar kita, baru kita kenal satu atau dua tahun ini tapi mengapa kita lebih care dan perhatian kepada pacar kita? Di manakah hati nurani para pemuda kita???

Kemudian alasan seseorang ketika memutuskan untuk berpacaran ialah karena ingin saling kenal lebih dalam sebelum menuju jenjang pernikahan, dan kalau memang alasannya untuk saling kenal mengenal kenapa ada artis sudah pacaran sembilan tahun bahkan nikahnya di tanah suci Mekah dan saat kembali ke Indonesia baru dua tahun nikah sudah bercerai, padahal sudah pacaran selama sembilan tahun, tapi kenapa usia pernikahannya hanya seumur jagung????

Dan kalau kita perhatikan, kakek, nenek atau orang tua kita dulu biasanya nikah tidak pakai pacaran tapi langsung nikah dan dijodohkan oleh orang tua mereka dan ternyata walaupun tidak didahului pernikahan hubungan mereka langgeng sampai puluhan tahun tidak ada perkara rumah tangga yang membuat mereka berpisah, namun tidak menampik sebagian kecil ada yang tidak baik. Oleh karena itu ketika berpacaran seseorang hanya saling kenal-mengenal tentang kelebihannya dirinya dan pasti akan menutupi kekurangan dirinya sehingga tabiat-tabiat jelek se orang pasangan akan terlihat saat setelah pernikahan.

Pacaran pun akan berakibat ruginya si cewek, cewek yang dia rela dipacari oleh seorang lelaki maka ia maaf, tidak ada bedanya dengan mangga yang dijual di pasar, lho kok bisa? Bisa, mangga yang dijual di pasar sering dipegang-pegang sebelum dibeli, di cium berkali-kali tapi banyak yang tidak jadi membeli mangga tersebut. Sama dengan cewek yang pacaran sudah dipegang-pegang, di cium-cium tapi tidak jadi dinikahi dan berarti dia barang Second :D hehe oleh karena itu jika ingin mengenal calon pasangan kita, lihatlah sahabat terdekatnya siapa, pasti gak jauh berbeda dengan sifat orang calon pasangan kita. Dan tentunya dalam Islam tidak mengenal istilah pacaran, barang siapa dia berpacaran berarti dia melakukan sebuah perbuatan yang mendekati Zina dan itu sangat tidak diridhai Allah.
Wallahualam.

sumber : http://myquran.org/forum/index.php/topic,73665.msg0/boardseen.html#new

Wednesday, December 21, 2011

Kedermawanan Khalifah Usman bin Affan


Usman bin Affan r.a. adalah termasuk sahabat yang mendapat ridha dari Rasulullah SAW dan diberitakan mendapat jaminan untuk masuk syurga.  Ia termasuk orang yang ketiga sesudah Abu Bakar As-Shiddiq r.a. dan Umar bin Khatab r.a. yang meneruskan roda pemerintahan Islam setelah Rasulullah SAW wafat.

Usman bin Affan juga mendapat gelar 'Dzun Nurain' (yang memiliki dua cahaya) karena Usman bin Affan telah mengawini dua orang putri Rasulullah SAW.  Istri Usman bin Affan yang pertama adalah Ruqayyah, kemudian ia meninggal, dan Usman bin Affan kawin lagi dengan putri Rasulullah yang bernama Ummu Kaltsum.

Kelebihan dari sahabat Rasulullah yang bernama Usman bin Affan ini adalah sifat pemalunya.  Rasulullah SAW pernah menyatakan, "Orang yang paling kasih sayang dai umatku ialah Abu Bakar, dan yang paling teguh dalam memelihara ajaran Allah ialah Umar, dan yang paling bersifat pemalu ialah Usman." (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Al-Hakim dan Tirmidzi).

Sifat pemalu yang dimiliki oleh Usman bin Affan itulah yang menjadikan ia seorang yang dermawan dan penuh belas kasih, sehingga ketika Rasulullah SAW tengah mempersiapkan pasukan "Al-Usrah", seluruh biaya ditanggung oleh Usman seorang diri, maka Rasulullah SAW menyambutnya dengan ucapan, "Tidak akan ada sesuatu yang dapat membahayakan Usman dengan apa yang dia lakukan hari ini.  Ya...! Allah, ridhailah Usman, sesungguhnya aku ridha kepadanya."

Diriwayatkan tentang kedermawanan Usman bin Affan terhadap kaum Muslimin khususnya kepada agama Allah adalah seperti di bawah ini.

Ketika kaum Muslimin hijrah dari Mekah ke Madinah, mereka dihadapkan pada masalah kesulitan air, dimana di Madinah ada sebuah sumur, tapi sumur itu milik seorang Yahudi dan sengaja airnya diperdagangkan.  Hijrahnya kaun Muslimin ke Madinah amat menggembirakan bagi orang Yahudi tersebut karena memberinya kesempatan untuk memperoleh uang yang banyak dari hasil penjualan airnya.

Oleh karena itu Rasulullah SAW sangat mengharapkan ada salah seorang sahabat yang mampu membeli sumur itu untuk meringankan beban kaum Muhajirin yang telah menderita karena harta benda mereka ditinggalkan di kota Mekah.  Mengetahui kejadian seperti itu, Usman bin Affan bergegas pergi ke rumah orang Yahudi tersebut untuk membeli separuh sumur tersebut.  Setelah terjadi tawar menawar maka disepakatilah harga separuh sumur itu 12.000,- dirham dan dengan perjanjian satu hari menjadi hak orang Yahudi itu, dan keesokan harinya adalah hak Usman bin Affan atas sumur tersebut.

Pada giliran hak pakai Usman bin Affan, kaum Muslimin bergegas mengambil air yang cukup untuk kebutuhan dua hari.  Dengan demikian si Yahudi merasa rugi, karena pada giliran hak pakai dirinya terhadap sumur itu tidak ada lagi kaum Muslimin yang memebeli air padanya.  Orang Yahudi tersebut mengeluh kepada Usman, dan akhirnya menjual separuhnya kepada Usman dengan harga 8.000,- dirham.  Sumur itu mengalirkan air yang melimpah bagi kaum Muslimin dengan gratis.

Bentuk kedermawanan lain Usman bin Affan, pada masa pemerintahan Abu Bakar As-Shiddiq r.a., kaum Muslimin dilanda paceklik yang dahsyat.  Mereka mendatangi khalifah Abu Bakar seraya berkata, "Wahai.. khalifah Abu Bakar..! Langit tidak menurunkan hujan dan bumi kering tidak menumbuhkan tanaman, dan orang-orang meramalkan bakal terjadi bencana besar, maka apa yang harus kita lakukan..?"

Abu Bakar menjawab, "Pergilah dan bersabarlah... Aku berharap sebelum tiba malam hari Allah akan meringankan kesulitan kalian."

Pada sore harinya ada serombongan kafilah dari Syam yang terdiri dari seribu unta yang mengangkat gandum, minyak dan kismis.  Unta-unta itu kemudian berhenti di depan rumah Usman, lalu kafilah-kafilah itu menurunkan muatannya.  Tak lama kemudian para pedagang (tengkulak) datang menemui Usman dengan maksud ingin membeli barang-barang tersebut.

Lalu Usman berkata kepada mereka, "Dengan segala senang hati, berapa banyak keuntungan yang akan kalian berikan kepadaku..?" Mereka menjawab, "Dengan dua kali lipat." Usman menjawab, "Waduh sayang..! Sudah ada penawaran yang lebih tinggi dari kalian."

Para pedagang itu kemudian menaikkan tawarannya empat sampai lima kali lipat, tetapi Usman tetap menolak dengan alasan sudah ada penawar yang akan lebih tinggi lagi dari penawaran para pedagang tersebut.

Akhirnya para pedagang (tengkulak) semuanya menjadi penasaran, lalu berkata lagi kepada Usman, "Hai Usman, di Madinah ini tidak ada pedagang selain kami, dan tidak ada yang mendahului kami dalam penawaran, siapa orang yang berani menawar lebih tinggi dari kami..?" Akhirnya Usman menjawab, "Allah SWT memberikan kepadaku sepuluh kali lipat, apakah kalian mau memberi lebih dari itu..?"

Mereka serempak mejawab, "Tidak..!" Usman berkata lagi, "Aku menjadikan Allah sebagai saksi bahwa seluruh yang dibawa kafilah itu adalah menjadi sedekah untuk para fakir miskin dari kaum Muslimin, aku ikhlas karena Allah, karena aku mencari ridha-Nya."

Maka pada sore hari itu juga Usman bin Affan r.a. membagi-bagikan seluruh makanan yang dibawa oleh kafilah tadi kepada fakir miskin.  Mereka semuanya mendapat bagian yang cukup untuk kebutuhan keluarganya masing-masing dalam jangka waktu yang lama.

Itulah sebagian dari kedermawanan Usman bin Affan r.a.  Selanjutnya mengenai kepribadian dalam perjalanan hidupnya, Usman bin Affan adalah seorang yang bertakwa, selalu bersikap wara', di tengah keheningan malam dia selalu menkaji Al-Qur'an dan setiap tahunnya dia menunaikan ibadah haji.  Apabila ia berzikir, maka dari matanya mengalir air mata haru.  Ia selalu bersegera dalam segala amal kebajikan dan kepentingan umat.


Dikutip dari buku "10 Sahabat yang Dijamin Masuk Syurga Beserta Calon-calon Penghuni Syurga" oleh Ust. Fairuz Masduqi


sumber : http://www.facebook.com/notes/kisah-kisah-islami/kedermawanan-khalifah-usman-bin-affan/262083327142198

Wasiat Terakhir Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam


Dari al-‘Irbadh bin Sariyah radhiallahu’anhu, dia berkata bahwa (pada suatu hari) Rasulullah shaallahu’alaihi wasallam memberikan nasihat kepada kami dengan nasihat yang sangat berkesan sehingga hati kami terharu dan air mata kami bercucuran. Maka kami pun menyapanya: “Wahai Rasulullah, sepertinya ini pesan perpisahan. Untuk itu, berilah kami wasiat." Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian agar selalu mendengar dan taat meskipun yang memimpin kalian seorang budak hitam (Habsyi). Karena sesungguhnya, siapa yang masih hidup (sepeninggalku) niscaya akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa-ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham. Jauhilah pula oleh kalian perkara-perkara baru (bid‘ah) karena setiap bid‘ah itu sesat."*

* HR. Abu Dawud, Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 3851), at-Tirmidzi, Shahiih Sunanit Tirmidzi (no. 2157), Ibnu Majah, Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 40), dan lainnya. Lihat: Shahiihut Targhiib wat Tarhiib (no. 34) dan Kitaabus Sunnah (no. 54) oleh Ibnu Abi ‘Ashim, dengan tahqiq guru kami, Syaikh al-Albani rahimahullah. Dan disebutkan dalam satu riwayat an-Nasa-i dan al-Baihaqi yang tertera pada kitab al-Asmaa-u wash Shifaat: “Dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.” Dengan sanad yang shahih, sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Ajwibatun Naafi’ah (hlm. 545) dan Ishlaahul Masaajid (hlm. 11).

Sungguh, sebuah wasiat yang begitu berharga, bukan saja bagi para Sahabatnya, namun juga bagi seluruh ummat Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wasallam sepeninggal beliau hingga akhir zaman nanti. Apabila kita cermati, wasiat ini mengandung beberapa hal penting, di antaranya:
  1. Wasiat takwa selalu tepat disampaikan pada setiap tempat dan kesempatan sebelum wasiat-wasiat lain karena ia merupakan kunci kebaikan dunia dan akhirat.
  2. Mendengar dan taat kepada pemimpin kaum Muslimin yang sah, siapa pun dia, hukumnya wajib selama pemimpin tersebut tidak menyuruh bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.
  3. Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam mengabarkan kepada ummatnya peristiwa yang akan terjadi nanti sepeninggal beliau, berupa perselisihan pendapat antar ummat Islam, dan apa yang Rasulullah beritakan itu benar-benar terjadi. Hal ini membuktikan bahwa Muhammad shalallahu’alaihi wasallam adalah benar-benar seorang Nabi, yang tidaklah beliau berbicara melainkan berdasarkan wahyu dari Yang Maha Mengetahui yang ghaib, yaitu Allah Subhaanahu wa Ta’ala.
  4. Wasiat Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam yang disampaikan kepada ummatnya jauh-jauh hari sebelum wafatnya, mengenai musibah yang akan terjadi setelah beliau tidak berada lagi di tengah-tengah mereka, menunjukkan kasih sayang beliau yang begitu besar. Beliau tidak rela melihat ummatnya berpecah-belah karena perselisihan pendapat tanpa ada solusi yang tepat, benar dan aman dalam mengatasinya.
  5. Berdasarkan hadits di atas, sikap yang benar pada saat ummat Islam berselisih pendapat dan berpecah-belah adalah dengan mengembalikan masalah yang diperselisihkan kepada sunnah Rasul dan Sahabatnya, serta menjauhkan diri dari hal-hal baru yang tidak ada landasannya dalam as-Sunnah.
  6. Berdasarkan wasiat Nabi tersebut, as-Sunnah memiliki keistimewaan hukum dibandingkan dengan al-Qur-an. Pada saat ummat berselisih, as-Sunnah-lah yang seharusnya menjadi penengah dikarenakan ia mengandung hukum yang lebih terperinci daripada al-Qur-an yang masih global. Di samping itu, as-Sunnah juga berfungsi menjelaskan dan menjabarkan hukum-hukum al-Qur-an yang masih umum dan mutlak.
  7. Setiap perkara baru yang menyelisihi as-Sunnah (bid’ah) adalah kesesatan semata dan berpotensi menyesatkan siapa saja yang menganutnya.
  8. As-Sunnah tetap relevan untuk setiap zaman.
Disalin dari bagian pengantar Kitab Washiyyatu Muwaddi’ karya Syaikh Husain bin ‘Audah al-Awayisyah, diterjemahkan oleh Penerbit Pustaka Imam Syafi’i dengan judul ‘Pesan-pesan Terakhir Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam’.



sumber : http://yudi81.blogspot.com/2009/01/wasiat-terakhir-rasulullah.html

Dosa Meninggalkan Shalat Lima Waktu Lebih Besar Dibandingkan Dosa Berzina


Para pembaca yang semoga selalu dirahmati oleh Allah Ta’ala. Kita semua pasti tahu bahwa shalat adalah perkara yang amat penting. Bahkan shalat termasuk salah satu rukun Islam yang utama yang bisa membuat bangunan Islam tegak. Namun, realita yang ada di tengah umat ini sungguh sangat berbeda. Kalau kita melirik sekeliling kita, ada saja orang yang dalam KTP-nya mengaku Islam, namun biasa meninggalkan rukun Islam yang satu ini. Mungkin di antara mereka, ada yang hanya melaksanakan shalat sekali sehari, itu pun kalau ingat. Mungkin ada pula yang hanya melaksanakan shalat sekali dalam seminggu yaitu shalat Jum’at. Yang lebih parah lagi, tidak sedikit yang hanya ingat dan melaksanakan shalat dalam setahun dua kali yaitu ketika Idul Fithri dan Idul Adha saja.

Memang sungguh prihatin dengan kondisi umat saat ini. Banyak yang mengaku Islam di KTP, namun kelakuannya semacam ini. Oleh karena itu, pada tulisan yang singkat ini kami akan mengangkat pembahasan mengenai hukum meninggalkan shalat. Semoga Allah memudahkannya dan memberi taufik kepada setiap orang yang membaca tulisan ini.
Para ulama sepakat bahwa meninggalkan shalat termasuk dosa besar yang lebih besar dari dosa besar lainnya
Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan, “Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” (Ash Sholah, hal. 7)
Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Al Kaba’ir, Ibnu Hazm –rahimahullah- berkata, “Tidak ada dosa setelah kejelekan yang paling besar daripada dosa meninggalkan shalat hingga keluar waktunya dan membunuh seorang mukmin tanpa alasan yang bisa dibenarkan.” (Al Kaba’ir, hal. 25)
Adz Dzahabi –rahimahullah- juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat secara keseluruhan -yaitu satu shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk orang yang merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).” (Al Kaba’ir, hal. 26-27)
Apakah orang yang meninggalkan shalat, kafir alias bukan muslim?
Dalam point sebelumnya telah dijelaskan, para ulama bersepakat bahwa meninggalkan shalat termasuk dosa besar bahkan lebih besar dari dosa berzina dan mencuri. Mereka tidak berselisih pendapat dalam masalah ini. Namun, yang menjadi masalah selanjutnya, apakah orang yang meninggalkan shalat masih muslim ataukah telah kafir?
Asy Syaukani -rahimahullah- mengatakan bahwa tidak ada beda pendapat di antara kaum muslimin tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya. Namun apabila meninggalkan shalat karena malas dan tetap meyakini shalat lima waktu itu wajib -sebagaimana kondisi sebagian besar kaum muslimin saat ini-, maka dalam hal ini ada perbedaan pendapat (Lihat Nailul Author, 1/369).
Mengenai meninggalkan shalat karena malas-malasan dan tetap meyakini shalat itu wajib, ada tiga pendapat di antara para ulama mengenai hal ini.
Pendapat pertama mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat harus dibunuh karena dianggap telah murtad (keluar dari Islam). Pendapat ini adalah pendapat Imam Ahmad, Sa’id bin Jubair, ‘Amir Asy Sya’bi, Ibrohim An Nakho’i, Abu ‘Amr, Al Auza’i, Ayyub As Sakhtiyani, ‘Abdullah bin Al Mubarrok, Ishaq bin Rohuwyah, ‘Abdul Malik bin Habib (ulama Malikiyyah), pendapat sebagian ulama Syafi’iyah, pendapat Imam Syafi’i (sebagaimana dikatakan oleh Ath Thohawiy), pendapat Umar bin Al Khothob (sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hazm), Mu’adz bin Jabal, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Hurairah, dan sahabat lainnya.
Pendapat kedua mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat dibunuh dengan hukuman had, namun tidak dihukumi kafir. Inilah pendapat Malik, Syafi’i, dan salah salah satu pendapat Imam Ahmad.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat karena malas-malasan adalah fasiq (telah berbuat dosa besar) dan dia harus dipenjara sampai dia mau menunaikan shalat. Inilah pendapat Hanafiyyah. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 22/186-187)
Jadi, intinya ada perbedaan pendapat dalam masalah ini di antara para ulama termasuk pula ulama madzhab. Bagaimana hukum meninggalkan shalat menurut Al Qur’an dan As Sunnah? Silakan simak pembahasan selanjutnya.
Pembicaraan orang yang meninggalkan shalat dalam Al Qur’an
Banyak ayat yang membicarakan hal ini dalam Al Qur’an, namun yang kami bawakan adalah dua ayat saja.
Allah Ta’ala berfirman,
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui al ghoyya, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.” (QS. Maryam: 59-60)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa ‘ghoyya’ dalam ayat tersebut adalah sungai di Jahannam yang makanannya sangat menjijikkan, yang tempatnya sangat dalam. (Ash Sholah, hal. 31)
Dalam ayat ini, Allah menjadikan tempat ini –yaitu sungai di Jahannam- sebagai tempat bagi orang yang menyiakan shalat dan mengikuti syahwat (hawa nafsu). Seandainya orang yang meninggalkan shalat adalah orang yang hanya bermaksiat biasa, tentu dia akan berada di neraka paling atas, sebagaimana tempat orang muslim yang berdosa. Tempat ini (ghoyya) yang merupakan bagian neraka paling bawah, bukanlah tempat orang muslim, namun tempat orang-orang kafir.
Pada ayat selanjutnya juga, Allah telah mengatakan,
إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا
“kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.” Maka seandainya orang yang menyiakan shalat adalah mukmin, tentu dia tidak dimintai taubat untuk beriman.
Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ
“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.” (QS. At Taubah [9]: 11). Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mengaitkan persaudaraan seiman dengan mengerjakan shalat. Berarti jika shalat tidak dikerjakan, bukanlah saudara seiman. Konsekuensinya orang yang meninggalkan shalat bukanlah mukmin karena orang mukmin itu bersaudara sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.” (QS. Al Hujurat [49]: 10)
Pembicaraan orang yang meninggalkan shalat dalam Hadits
Terdapat beberapa hadits yang membicarakan masalah ini.
Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
“(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 257)
Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu -bekas budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ
“Pemisah Antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566).
Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ
“Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat.” (HR. Tirmidzi no. 2825. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi). Dalam hadits ini, dikatakan bahwa shalat dalam agama Islam ini adalah seperti penopang (tiang) yang menegakkan kemah. Kemah tersebut bisa roboh (ambruk) dengan patahnya tiangnya. Begitu juga dengan islam, bisa ambruk dengan hilangnya shalat.
Para sahabat ber-ijma’ (bersepakat) bahwa meninggalkan shalat adalah kafir
Umar mengatakan,
لاَ إِسْلاَمَ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ
“Tidaklah disebut muslim bagi orang yang meninggalkan shalat.”
Dari jalan yang lain, Umar berkata,
ولاَحَظَّ فِي الاِسْلاَمِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ
“Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” (Dikeluarkan oleh Malik. Begitu juga diriwayatkan oleh Sa’ad di Ath Thobaqot, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Iman. Diriwayatkan pula oleh Ad Daruquthniy dalam kitab Sunan-nya, juga Ibnu ‘Asakir. Hadits ini shohih, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 209). Saat Umar mengatakan perkataan di atas tatkala menjelang sakratul maut, tidak ada satu orang sahabat pun yang mengingkarinya. Oleh karena itu, hukum bahwa meninggalkan shalat adalah kafir termasuk ijma’ (kesepakatan) sahabat sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim dalam kitab Ash Sholah.
Mayoritas sahabat Nabi menganggap bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah kafir sebagaimana dikatakan oleh seorang tabi’in, Abdullah bin Syaqiq. Beliau mengatakan,
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ الأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ
“Dulu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amal yang apabila ditinggalkan menyebabkan kafir kecuali shalat.” Perkataan ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqliy seorang tabi’in dan Hakim mengatakan bahwa hadits ini bersambung dengan menyebut Abu Hurairah di dalamnya. Dan sanad (periwayat) hadits ini adalah shohih. (Lihat Ats Tsamar Al Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, hal. 52)
Dari pembahasan terakhir ini terlihat bahwasanya Al Qur’an, hadits dan perkataan sahabat bahkan ini adalah ijma’ (kesepakatan) mereka menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah kafir (keluar dari Islam). Itulah pendapat yang terkuat dari pendapat para ulama yang ada.
Ibnul Qayyim mengatakan, “Tidakkah seseorang itu malu dengan mengingkari pendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, padahal hal ini telah dipersaksikan oleh Al Kitab (Al Qur’an), As Sunnah dan kesepakatan sahabat. Wallahul Muwaffiq (Hanya Allah-lah yang dapat memberi taufik).” (Ash Sholah, hal. 56)
Berbagai kasus orang yang meninggalkan shalat
[Kasus Pertama] Kasus ini adalah meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya sebagaimana mungkin perkataan sebagian orang, “Sholat oleh, ora sholat oleh.” [Kalau mau shalat boleh-boleh saja, tidak shalat juga tidak apa-apa]. Jika hal ini dilakukan dalam rangka mengingkari hukum wajibnya shalat, orang semacam ini dihukumi kafir tanpa ada perselisihan di antara para ulama.
[Kasus Kedua] Kasus kali ini adalah meninggalkan shalat dengan menganggap gampang dan tidak pernah melaksanakannya. Bahkan ketika diajak untuk melaksanakannya, malah enggan. Maka orang semacam ini berlaku hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Inilah pendapat Imam Ahmad, Ishaq, mayoritas ulama salaf dari shahabat dan tabi’in.
[Kasus Ketiga] Kasus ini yang sering dilakukan kaum muslimin yaitu tidak rutin dalam melaksanakan shalat yaitu kadang shalat dan kadang tidak. Maka dia masih dihukumi muslim secara zhohir (yang nampak pada dirinya) dan tidak kafir. Inilah pendapat Ishaq bin Rohuwyah yaitu hendaklah bersikap lemah lembut terhadap orang semacam ini hingga dia kembali ke jalan yang benar. Wal ‘ibroh bilkhotimah [Hukuman baginya dilihat dari keadaan akhir hidupnya].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Jika seorang hamba melakukan sebagian perintah dan meninggalkan sebagian, maka baginya keimanan sesuai dengan perintah yang dilakukannya. Iman itu bertambah dan berkurang. Dan bisa jadi pada seorang hamba ada iman dan nifak sekaligus. …Sesungguhnya sebagian besar manusia bahkan mayoritasnya di banyak negeri, tidaklah selalu menjaga shalat lima waktu. Dan mereka tidak meninggalkan secara total. Mereka terkadang shalat dan terkadang meninggalkannya. Orang-orang semacam ini ada pada diri mereka iman dan nifak sekaligus. Berlaku bagi mereka hukum Islam secara zhohir seperti pada masalah warisan dan semacamnya. Hukum ini (warisan) bisa berlaku bagi orang munafik tulen. Maka lebih pantas lagi berlaku bagi orang yang kadang shalat dan kadang tidak.” (Majmu’ Al Fatawa, 7/617)
[Kasus Keempat] Kasus ini adalah bagi orang yang meninggalkan shalat dan tidak mengetahui bahwa meninggalkan shalat membuat orang kafir. Maka hukum bagi orang semacam ini adalah sebagaimana orang jahil (bodoh). Orang ini tidaklah dikafirkan disebabkan adanya kejahilan pada dirinya yang dinilai sebagai faktor penghalang untuk mendapatkan hukuman.
[Kasus Kelima] Kasus ini adalah untuk orang yang mengerjakan shalat hingga keluar waktunya. Dia selalu rutin dalam melaksanakannya, namun sering mengerjakan di luar waktunya. Maka orang semacam ini tidaklah kafir, namun dia berdosa dan perbuatan ini sangat tercela sebagaimana Allah berfirman,
وَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5)
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al Maa’un [107]: 4-5) (Lihat Al Manhajus Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, 189-190)
Penutup
Sudah sepatutnya kita menjaga shalat lima waktu. Barangsiapa yang selalu menjaganya, berarti telah menjaga agamanya. Barangsiapa yang sering menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi.
Amirul Mukminin, Umar bin Al Khoththob –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan, “Sesungguhnya di antara perkara terpenting bagi kalian adalah shalat. Barangsiapa menjaga shalat, berarti dia telah menjaga agama. Barangsiapa yang menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi. Tidak ada bagian dalam Islam, bagi orang yang meninggalkan shalat.”
Imam Ahmad –rahimahullah- juga mengatakan perkataan yang serupa, “Setiap orang yang meremehkan perkara shalat, berarti telah meremehkan agama. Seseorang memiliki bagian dalam Islam sebanding dengan penjagaannya terhadap shalat lima waktu. Seseorang yang dikatakan semangat dalam Islam adalah orang yang betul-betul memperhatikan shalat lima waktu. Kenalilah dirimu, wahai hamba Allah. Waspadalah! Janganlah engkau menemui Allah, sedangkan engkau tidak memiliki bagian dalam Islam. Kadar Islam dalam hatimu, sesuai dengan kadar shalat dalam hatimu.” (Lihat Ash Sholah, hal. 12)
Oleh karena itu, seseorang bukanlah hanya meyakini (membenarkan) bahwa shalat lima waktu itu wajib. Namun haruslah disertai dengan melaksanakannya (inqiyad). Karena iman bukanlah hanya dengan tashdiq (membenarkan), namun harus pula disertai dengan inqiyad (melaksanakannya dengan anggota badan).
Ibnul Qoyyim mengatakan, “Iman adalah dengan membenarkan (tashdiq). Namun bukan hanya sekedar membenarkan (meyakini) saja, tanpa melaksanakannya (inqiyad). Kalau iman hanyalah membenarkan (tashdiq) saja, tentu iblis, Fir’aun dan kaumnya, kaum sholeh, dan orang Yahudi yang membenarkan bahwa Muhammad adalah utusan Allah (mereka meyakini hal ini sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka), tentu mereka semua akan disebut orang yang beriman (mu’min-mushoddiq).”
Al Hasan mengatakan, “Iman bukanlah hanya dengan angan-angan (tanpa ada amalan). Namun iman adalah sesuatu yang menancap dalam hati dan dibenarkan dengan amal perbuatan.” (Lihat Ash Sholah, 35-36)
Semoga tulisan yang singkat ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga kita dapat mengingatkan kerabat, saudara dan sahabat kita mengenai bahaya meninggalkan shalat lima waktu. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
***
Selesai disusun di Panggang, Gunung Kidul, 22 Jumadil Ula 1430 H
Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal
Dimuroja’ah oleh: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id

Tuesday, December 20, 2011

Permusuhan Yahudi Terhadap Islam Dalam Sejarah


Permusuhan Yahudi terhadap Islam sudah terkenal dan ada sejak dahulu kala. Dimulai sejak dakwah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan mungkin juga sebelumnya bahkan sebelum kelahiran beliau. Hal ini mereka lakukan karena khawatir dari pengaruh dakwah islam yang akan menghancurkan impian dan rencana mereka. Namun dewasa ini banyak usaha menciptakan opini bahwa permusuhan yahudi dan islam hanyalah sekedar perebutan tanah dan perbatasan Palestina dan wilayah sekitarnya, bukan permasalahan agama dan sejarah kelam permusuhan yang mengakar dalam diri mereka terhadap agama yang mulia ini.

Padahal pertarungan kita dengan Yahudi adalah pertarungan eksistensi, bukan persengkataan perbatasan. Musuh-musuh islam dan para pengikutnya yang bodoh terus berupaya membentuk opini bahwa hakekat pertarungan dengan Yahudi adalah sebatas pertarungan memperebutkan wilayah, persoalan pengungsi dan persoalan air. Dan bahwa persengketaan ini bisa berakhir dengan (diciptakannya suasana) hidup berdampingan secara damai, saling tukar pengungsi, perbaikan tingkat hidup masing-masing, penempatan wilayah tinggal mereka secara terpisah-pisah dan mendirikan sebuah Negara sekuler kecil yang lemah dibawah tekanan ujung-ujung tombak zionisme, yang kesemua itu (justeru) menjadi pagar-pagar pengaman bagi Negara zionis. Mereka semua tidak mengerti bahwa pertarungan kita dengan Yahudi adalah pertarungan lama semenjak berdirinya Negara islam diMadinah dibawah kepemimpinan utusan Allah bagi alam semesta yaitu Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam
Demikianlah permusuhan dan usaha mereka merusak Islam sejak berdirinya Negara islam bahkan sejak Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam hijrah ke Madinah sampai saat ini dan akan berlanjut terus. Walaupun tidak tertutup kemungkinan mereka punya usaha dan upaya memberantas islam sejak kelahiran beliau n . hal ini dapat dilihat dalam pernyataan pendeta Buhairoh terhadap Abu Thalib dalam perjalanan dagang bersama beliau diwaktu kecil. Allah Ta’ala telah jelas-jelas menerangkan permusuhan Yahudi dalam firmanNya:
Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. (Qs. 5:82)
Melihat demikian panjangnya sejarah dan banyaknya bentuk permusuhan Yahudi terhadap Islam dan Negara Islam, maka kami ringkas dalam 3 marhalah;
Marhalah pertama:
Upaya Yahudi dalam menghalangi dakwah Islam di masa awal perkembangan dakwah islam dan cara mereka dalam hal ini.

Diantara upaya Yahudi dalam menghalangi dakwah Islam di masa-masa awal perkembangannya adalah:
  1. Pemboikotan (embargo) Ekonomi: Kaum muslimin ketika awal perkembangan islam di Madinah sangat lemah perekonomiannya. Kaum muhajirin datang ke Madinah tidak membawa harta mereka dan kaum Anshor yang menolong mereka pun bukanlah pemegang perekonomian Madinah. Oleh karena itu Yahudi menggunakan kesempatan ini untuk menjauhkan kaum muslimin dari agama mereka dan melakukan embargo ekonomi. Para pemimpin Yahudi enggan membantu perekonomian kaum muslimin dan ini terjadi ketika Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengutus Abu Bakar menemui para pemimpin Yahudi untuk meminjam dari mereka harta yang digunakan untuk membantu urusan beliau dan berwasiat untuk tidak berkata kasar dan tidak menyakiti mereka bila mereka tidak memberinya. Ketika Abu Bakar masuk Bait Al Midras (tempat ibadah mereka) mendapati mereka sedang berkumpul dipimpin oleh Fanhaash –tokoh besar bani Qainuqa’- yang merupakan salah satu ulama besar mereka didampingi seorang pendeta yahudi bernama Asy-ya’. Setelah Abu Bakar menyampaikan apa yang dibawanya dan memberikan surat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam kepadanya. Maka ia membaca sampai habis dan berkata: Robb kalian butuh kami bantu! Tidak hanya sampai disini saja, bahkan merekapun enggan menunaikan kewajiban yang harus mereka bayar, seperti hutang, jual beli dan amanah kepada kaum muslimin. Berdalih bahwa hutang, jual beli dan amanah tersebut adanya sebelum islam dan masuknya mereka dalam islam menghapus itu semua. Oleh karena itu Allah berfirman:Di antara Ahli Kitab ada orang yang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaranmereka mengatakan:”Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummi. Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui. (Qs. 3:75)
  2. Membangkitkan fitnah dan kebencian: Yahudi dalam upaya menghalangi dakwah islam menggunakan upaya menciptakan fitnah dan kebencian antar sesama kaum muslimin yang pernah ada di hati penduduk Madinah dari Aus dan Khodzraj pada masa jahiliyah. Sebagian orang yang baru masuk islam menerima ajakan Yahudi, namun dapat dipadamkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam . diantaranya adalah kisah yang dibawakan Ibnu Hisyam dalam Siroh Ibnu Hisyam (2/588) ringkas kisahnya: Seorang Yahudi bernama Syaas bin Qais mengutus seorang pemuda Yahudi untuk duduk dan bermajlis bareng dengan kaum Anshor, kemudian mengingatkan mereka tentang kejadian perang Bu’ats hingga terjadi pertengkaran dan mereka keluar membawa senjata-senjata masing-masing. Lalu hal ini sampai pada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. maka beliau shallallahu ’alaihi wa sallam segera berangkat bersama para sahabat muhajirin menemui mereka dan bersabda:يَا مَعْشَر المُسْلِمِيْنَ اللهَ اللهَ أَبِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ وَ أَنَا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ بَعْدَ أَنْ هَدَاكُمُ اللهُ لِلإِسْلاَمِ وَ أَكْرَمَكُمْ بِهِ وَ قَطَعَ بِهِ أَمْرَ الْجَاهِلِيَّةِ وَاسْتَنْقَذَكُمْ بِهِ مِنَ الْكُفْرِ وَ أَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ “Wahai kaum muslimin alangkah keterlaluannya kalian, apakah (kalian mengangkat) dakwah jahiliyah padahal aku ada diantara kalian setelah Allah tunjuki kalian kepada Islam dan muliakan kalian, memutus perkara Jahiliyah dan menyelamatkan kalian dari kekufuran dengan Islam serta menyatukan hati-hati kalian.” Lalu mereka sadar ini adalah godaan syetan dan tipu daya musuh mereka, sehingga mereka mengangis dan saling rangkul antara Aus dan Khodzroj. Lalu mereka pergi bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dengan patuh dan taat yang penuh. Lalu Allah turunkan firmanNya: Katakanlah: ”Hai Ahli Kitab, mengapa kamu ingkari ayat-ayat Allah, padahal Allah Maha Menyaksikan apa yang kamu kerjakan. Katakanlah:”Hai Ahli Kitab, mengapa kamu menghalang-halangi dari jalan Allah orang-orang yang telah beriman, kamu menghendakinya menjadi bengkok, padahal kamu menyaksikan.” Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan. (Qs. 3:99)
  3. Menyebarkan keraguan pada diri kaum muslimin: Orang Yahudi berusaha memasukkan keraguan di hati kaum muslimin yang masih lemah imannya dengan melontarkan syubhat-syubhat yang dapat menggoyahkan kepercayaan mereka terhadap islam. Hal ini dijelaskan Allah dalam firmanNya: Segolongan (lain) dari Ahli Kitab berkata (kepada sesamanya): “Perlihatkanlah (seolah-olah) kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka (orang-orang mu’min) kembali (kepada kekafiran). (Qs. 3:72). Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini dengan pernyataan: Ini adalah tipu daya yang mereka inginkan untuk merancukan perkara agama islam kepada orang-orang yang lemah imannya. Mereka sepakat menampakkan keimanan di pagi hari (permulaan siang) dan sholat subuh bersama kaum muslimin. Lalu ketika diakhir siang hari (sore hari) mereka murtad dari agama Islam agar orang-orang bodoh menyatakan bahwa mereka keluat tidak lain karena adanya kekurangan dan aib dalam agama kaum muslimin.
  4. Memata-matai kaum Muslimin: Ibnu Hisyam menjelaskan adanya sejumlah orang Yahudi yang memeluk Islam untuk memata-matai kaum muslimin dan menukilkan berita Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan yang ingin beliau lakukan kepada orang Yahudi dan kaum musyrikin, diantaranya: Sa’ad bin Hanief, Zaid bin Al Lishthi, Nu’maan bin Aufa bin Amru dan Utsmaan bin Aufa serta Rafi’ bin Huraimila’. Untuk menghancurkan tipu daya ini Allah berfirman:Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaan orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata:”Kami beriman”; dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka):”Marilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati. (Qs. 3:118-119)
  5. Usaha memfitnah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam: Orang Yahudi tidak pernah henti berusaha memfitnah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, diantaranya adalah kisah yang disampaikan Ibnu Ishaaq bahwa beliau berkata: Ka’ab bin Asad, Ibnu Shaluba, Abdullah bin Shurie dan Syaas bin Qais saling berembuk dan menghasilkan keputusan berangkat menemui Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam untuk memfitnah agama beliau. Lalu mereka menemui Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan berkata: Wahai Muhammad engkau telah tahu kami adalah ulama dan tokoh terhormat serta pemimpin besar Yahudi, Apabila kami mengikutimu maka seluruh Yahudi akan ikut dan tidak akan menyelisihi kami. Sungguh antara kami dan sebagian kaum kami terjadi persengketaan. Apakah boleh kami berhukum kepadamu lalu engkau adili dengan memenangkan kami atas mereka? Maka Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam enggan menerimanya. Lalu turunlah firman Allah: Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kemu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati. hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (Qs. 5:49)
Semua usaha mereka ini gagal total dihadapan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan Allah membalas makar mereka ini dengan menimpakan kepada mereka kerendahan dan kehinaan.
Marhalah kedua:
Masa perang senjata antara Yahudi dan Muslimin di zaman Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam.
Orang Yahudi tidak cukup hanya membuat keonaran dan fitnah kepada kaum muslimin semata bahkan merekapun menampakkan diri bergabung dengan kaum musyrikin dengan menyatakan permusuhan yang terang-terangan terhadap islam dan kaum muslimin. Namun Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam tetap menunggu sampai mereka melanggar dan membatalkan perjanjian yang pernah dibuat diMadinah. Ketika mereka melanggar perjanjian tersebut barulah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan tindakan militer untuk menghadapi mereka dan mengambil beberapa keputusan untuk memberikan pelajaran kepada mereka. Diantara keputusan penting tersebut adalah:
  1. Pengusiran Bani Qainuqa’
  2. Pengusiran bani Al Nadhir
  3. Perang Bani Quraidzoh
  4. Penaklukan kota Khaibar
Setelah terjadinya hal tersebut maka orang Yahudi terusir dari jazirah Arab.
Marhalah ketiga:
Tipu daya dan makar mereka terhadap islam setelah wafat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.

Orang Yahudi memandang tidak mungkin melawan Islam dan kaum muslimin selama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam masih hidup. Ketika Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam wafat, orang Yahudi melihat adanya kesempatan untuk membuat makar kembali terhadap Islam dan muslimin. Mereka mulai merencanakan dan menjalankan tipu daya mereka untuk memalingkan kaum muslimin dari agamanya. Namun tentunya mereka lakukan dengan lebih baik dan teliti dibanding sebelumnya. Sebagian target mereka telah terwujud dengan beberapa sebab diantaranya:
  1. Kaum muslimin kehilangan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.
  2. Orang Yahudi dapat mengambil pelajaran dan pengalaman dari usaha-usaha mereka terdahulu sehingga dapat menambah hebat makar dan tipu daya mereka.
  3. Masuknya sebagian orang Yahudi ke dalam Islam dengan tujuan memata-matai kaum muslimin dan merusak mereka dari dalam tubuh kaum muslimin.
Memang berbicara tentang tipu daya dan makar Yahudi kepada kaum Muslimin sejak wafat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam hingga kini membutuhkan pembahasan yang panjang sekali. Namun rasanya cukup memberikan 3 contoh kejadian besar dalam sejarah Islam untuk mengungkapkan permasalahan ini. Yaitu:
  1. Fitnah pembunuhan khalifah UtsmanIni adalah awal keberhasilan Yahudi dalam menyusup dan merusak Islam dan kaum muslimin. Tokoh yahudi yang bertanggung jawab terjadinya peristiwa ini adalah Abdullah bin Saba’ yang dikenal dengan Ibnu Sauda’. Kisahnya cukup masyhur dan ditulis dalam kitab-kitab sejarah Islam.
  2. Fitnah Maimun Al Qadaah dan perkembangan sekte Bathiniyah. Keberhasilan Abdullah bin Saba’ membuat fitnah di kalangan kaum Muslimin dan mengajarkan saba’isme membuat orang Yahudi semakin berani. Sehingga belum habis fitnah Sabaiyah mereka sudah memunculkan tipu daya baru yang dipimpin seorang Yahudi bernama Maimun bin Dieshaan Al Qadaah dengan membuat sekte Batiniyah di Kufah tahun 276 H. Imam Al Baghdadi menceritakan: Diatara orang yang membangun sekte Bathiniyah adalah Maimun bin Dieshaan yang dikenal dengan Al Qadaah seorang maula bagi Ja’far bin Muhammad Al Shodiq yang berasal dari daerah Al Ahwaaz dan Muhammad bin Al Husein yang dikenal dengan Dandaan. Mereka berkumpul bersama Maimun Al Qadah di penjara Iraaq lalu membangun sekte Bathiniyah.Tipu daya Yahudi ini terus berjalan dalam bentuk yang beraneka ragam sehingga sekte ini berkembang menjadi banyak sekali sektenya dalam kaum muslimin, sampai-sampai menghalalkan pernikahan sesama mahrom dan hilangnya kewajiban syariat pada seseorang.
  3. Penghancuran kekhilafahan Turki Utsmani ditangan gerakan Masoniyah dan akibat yang ditimbulkan berupa perpecahan kaum muslimin.Orang Yahudi mengetahui sumber kekuatan kaum muslimin adaalh bersatunya mereka dibawah satu kepemimpinan dalam naungan kekhilafahan Islamiyah. Oleh karena mereka segera berusaha keras meruntuhkan kekhilafahan yang ada sejak zaman Khulafa’ Rasyidin sampai berhasil menghapus dan meruntuhkan negara Turki Utsmaniyah. Orang Yahudi memulai konspirasinya dalam meruntuhkan Negara Turki Utsmaniyah pada masa sultan Murad kedua (tahun 834-855H) dan setelah beliau pada masa sultan Muhammad Al Faatih (tahun 855-886H) yang meningal diracun oleh Thobib beliau seorang Yahudi bernama Ya’qub Basya. Demikian juga berhasil membunuh Sultan Sulaiman Al Qanuni (tahun 926-974H) dan para cucunya yang diatur oleh seorang Yahudi bernama Nurbaanu. Konspirasi Yahudi ini terus berlangsung di masa kekhilafahan Utsmaniyah lebih dari 400 tahunan hingga runtuhnya di tangan Mushthofa Ataturk.
Orang Yahudi dalam menjalankan rencana tipu daya mereka menggunakan kekuatan berikut ini:
  1. Yahudi Al Dunamah. Diantara tokohnya adalah Madhaat Basya dan Mushthofa Kamal Ataturk yang memiliki peran besar dan penting dalam penghancuran kekhilafahan Utsmaniyah.
  2. Salibis Eropa yang sangat membenci islam dan kaum muslimin dengan melakukan perjanjian kerjasama dengan beberapa Negara eropa yaitu Bulgaria, Rumania, Namsa, Prancis, Rusia, Yunani dan Italia.
  3. Organisasi bawah tanah/rahasia, khususnya Masoniyah yang terus berusaha merealisasikan tujuan dan target Zionis.
Usaha-usaha Musthofa Kamal Basya Ataturk dalam menghancurkan kekhilafahan setelah berhasil menyingkirkan sultan Abdulhamid kedua adalah:
  1. Pada awal November 1922 M ia menghapus kesultanan dan membiarkan kekhilafahan
  2. Pada tanggal 18 November 1922M ia mencopot Wahieduddin Muhammad keenam dari kekhilafahan.
  3. Pada Agustus 1923 M ia mendirikan Hizb Al Sya’b Al Jumhuriah (Partai Rakyat Republik) dengan tokoh-tokoh pentingnya kebanyakan dari Yahudi Al Dunamah dan Masoniyah.
  4. Pada tanggal 20 oktober 1923 M Republik Turki diresmikan dan Al Jum’iyah Al Wathoniyah (Organisasi nasional) memilih Musthofa Kamal sebagai presiden Turki.
  5. Pada tanggal 2 Maret 1924 M Kekhilafahan dihapus total.
Demikianlah sempurna sudah keinginan orang-orang Yahudi untuk menjadikan kekhilafahan sebagai Negara sekuler yang dipimpin seorang Yahudi yang berkedok muslim.
Mudah-mudahan ringkas sejarah permusuhan Yahudi ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat menjadi pelajaran bagi kaum muslimin.
***

Sumber :
Penulis: Ustadz Khalid Syamhudi, Lc.
Artikel UstadzKholid.com dikutip oleh www.muslim.or.id

Iqro !

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More