Hidup di dunia ini adalah kehidupan yang mesti berakhir. Tak bias tidak, manusia pasti menemui ajalnya. Hakikat hidup kita di dunia ini hanyalah seumur jagung yang kemudian mati menguning.
“Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”(Q.S. Al-Hadid:20)
Karena sempitnya waktu kita di muka bumi ini, sepatutnya kita mengetahui apa sebenarnya target kita di dunia agar kita focus dalam mencapainya.
Tujuan Utama : Bahagia
Tentunya setiap dari kita pasti ingin hidupnya bahagia, dan inilah tujuan kita sesungguhnya. Sejatinya, apapun yang kita lakukan di dunia ini, baik dengan cara yang dihalalkan ataupun dilarang syariat semuanya bermuara pada tujuan yang satu : mencapai kebahagiaan.
Hanya saja, cara untuk mencapai kebahagiaan ini berbeda pada masing-masing individu. Sebagian besar lebih menitikberatkan pada pemenuhan sarana materi. Sebagian lain berusaha mencari kebahagiaan semu dengan obat-obatan terlarang. Dan hanya sedikit yang mendapatkan hidayah untuk mencapai kebahagiaan yang sempurna dan hakiki: kebahagiaan di atas koridor syariat, kebahagiaan dunia dan akhirat.
Bahagia Bukan Hanya Dengan Materi
Saudaraku, hidup bahagia tidak mesti dengan tercukupinya materi. Hidup bahagia tidak melulu berarti kebebasan finansial. Memang, materi merupakan salah satu unsur dari kebahagiaan, namun bukan seluruhnya. Materi hanyalah sebuah perantara untuk mencapai kebahagiaan. Dari sini, kitapun menyadari betapa banyak orang yang belum berbahagia meski hartanya melimpah, rumahnya megah, dan mobilnya mewah.
Justru, materi yang sebenarnya merupakan perantara kebahagiaan bisa menjadi sebab terhalangnya kebahagiaan jika kita tidak pandai-pandai mengaturnya. Betapa banyak orang yang justru menjadi pemburu harta dengan mengabaikan kebahagiaannya. Betapa banyak orang yang justru tidak bisa tidur nyenyak lantaran banyaknya harta yang ada di tangannya. Lagipula, seorang yang telah memiliki harta tidak akan puas berhenti pada satu tingkatan kekayaan. Ia akan mencari dan terus harta kekayaan meski telah melimpah ruah. Tidaklah kita menyimak sebuah ucapan dari Rasul yang mulia :
“Andai anak adam memiliki dua lembah harta, niscaya dia akan mencari yang ketiganya. Tidak ada yang bisa memenuhi perutnya kecuali tanah (yakni dikubur dalam tanah)”[H.R. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas]. Dan demikianlah, setiap seseorang memiliki harta, pasti dia mengiginkan yang lebih darinya. Hanya kematianlah yang bisa menghentikan ambisi untuk menambah hartanya.
Maka dari itu, Rasulullah mendefinisikan kekayaan sebenarnya dalam sebuah hadits yang artinya “Bukanlah kekayaan sejati itu disebabkan karena banyak hartanya, tapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan jiwa”[H.R. Al-Bukhari dan Muslim].
Kekayaan jiwa yang dimaksud oleh Rasulullah adalah rasa cukup terhadap pemberian Allah, tidak meminta-minta, dan meyakini bahwa kadar yang Allah tetapkan adalah jumlah yang terbaik baginya. Inilah makna qana’ah.
Nah, dengan penjelasan ini, teranglah bagi kita kenapa Rasulullah bersabda dalam sebuah hadits yang artinya “Sungguh telah beruntung orang yang masuk Islam dan diberi rezeki yang cukup, lalu Allah memberinya rasa qana’ah”.[H.R. Muslim dari sahabat Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash]
Rezeki Sudah Ditentukan
Saudaraku, seberapa pun kita sibuk dan bersungguh-sungguh dalam mencari rezeki, sesungguhnya Allah telah menentukan kadarnya. Allah telah menuliskannya di dalam Lauhul Mahfuzh semenjak lima puluh ribu tahun sebelum diciptakannya bumi dan langit. Rasulullah pernah bersabda yang artinya “Allah telah menuliskan takdir-takdir makhluk lima puluh ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit-langit dan bumi”[H.R. Muslim dari sahabat Ibnu Umar]i.
Tugas kita hanyalah menjemput rezeki tersebut dengan melakukan usaha yang halal. Jika Allah menakdirkan rezeki kita sedikit, hal itu tidak akan berubah meskipun kita bekerja keras memeras keringat membanting tulang. Sebaliknya, jika Allah menakdirkan rezeki kita adalah rezeki yang berlimpah, tidak akan berubah menjadi sedikit meskipun kita berusaha seadanya. Hanya saja, berusaha dengan cara yang halal adalah keharusan. Menempuh sebab datangnya rezeki kemudian menyandarkan hasilnya kepada Allah adalah tawakal yang wajib dilaksanakan.
Maka dari itu, Rasulullah mewasiatkan kepada kita untuk mencari rezeki dengan cara yang baik dalam sabda beliau yang artinya, “Sesungguhnya Ruhul Qudus (Malaikat Jibril) mengilhamkan kepada qalbuku bahwasannya tidak ada satu jiwa pun yang meninggal dunia hingga dia telah lengkap menerima seluruh rezekinya, maka bertakwalah kepada Allah dan carilah rezeki dengan cara yang baik. Janganlah karena merasa rezekinya lambat lalu membuatnya mencari dengan bermaksiat kepada Allah. Sebab, yang ada di sisi Allah tidak dapat dicapai kecuali dengan ketaatan kepada-Nya”.[H.R. Abu Nu’aim dari sahabat Abu Umamah disahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Jami’]
Kebahagiaan Hakiki Nan Abadi
Apa yang kita bahas diatas adalah kebahagiaan di dunia yang fana dan sebentar. Sejatinya, ada kebahagiaan abadi yang wajib untuk kita cari. Ya, kebahagiaan itu adalah kebahagiaan ukhrawi, kebahagiaan kita di akhirat kelak.
Tentu masing-masing dari kita telah mengetahui adanya kebahagiaan ini. Namun sayang, terkadang pengetahuan ini sebatas wawasan dan belum menjadi keimanan yang mantap.
Sehingga, pengetahuan ini jarang menjadi sebuah landasan yang memacu kita untuk beramal dan mencarinya.
Kebahagiaan itu tidak akan terputus oleh maut ataupun sakit. Kebahagiaan yang belum pernah terbesit di dalam benak, belum pernah terdengar oleh telinga, dan belum pernah terlihat oleh mata. Itulah tujuan sejati kita yang seharusnya menjadi prioritas kita. Allahu’alam bish shawab.
Sumber : Majalah Tashfiyah Edisi 05
0 comments:
Post a Comment